VI

2.8K 234 5
                                    

[This part was written by sireneyes]

Cyro terjaga semalaman. Bayangan Harry D’Vasquez yang tampan, kaya, dan well gila , tidak dapat meninggalkan pikirannya. Memikirkan tentang pria itu menimbulkan perasaan yang tidak ingin ia pikirkan terlalu dalam ketika akal sehatnya justru berusaha menepis pria itu. Konglomerat yang suka menyendiri dan bepergian menenteng pedang? Sulit dibayangkan.

Ini sungguh tak masuk akal. Beberapa bulan yang lalu, Cyro menggali kehidupan D’Vasquez. Mempelajari dan mengorek informasi mengenai pria itu sebanyak mungkin. Dan selalu berusaha agar mendapatkan kesempatan untuk mewawancarainya. Tapi, tak satupun dari hasil penelusurannya menyebutkan kalau Harry D’Vasquez mengidap gangguan jiwa.

“Mungkin aku bisa menambahkan fakta itu ke catatan kecil.” gumam Cyro pada dirinya sendiri. Pandangannya menyapu sekeliling kamar. Setiap lampu menyala dan menyinari ruangan. Mengusir segala macam bayang-bayang.

“Hhh… kurasa tidak.” desahnya setelah beberapa saat. 

Tak pernah ada seorang pun yang pernah menyebut-nyebut tentang kegilaan laki-laki itu. Cyro mengerutkan dahi. Mengingat bahwa ia sendiri pun tidak banyak mendapatkan hasil dari pencarian informasi yang ia lakukan. Mayoritas informasi yang ada adalah bahwa Harry banyak menyumbang untuk panti-panti sosial setempat.

Sama sekali tak ada informasi mengenai latar belakangnya. Siapa dia. Maupun darimana asalnya. Harry sudah tinggal di Budapest selama 7 tahun, namun tak ada catatan mengenai tempat asalnya sebelum ia datang ke Hungaria.

“Kenapa?” erang Cyro, “Apa semua wartawan sebelumku terlalu takut untuk menggali informasi darinya?” ia bertanya pada dirinya sendiri dengan kesal. Frustasi karena tidak kunjung mendapatkan titik temu dari semua pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.

Dengan kening berkerut, Cyro mengingat pedang yang dibawa pria itu di samping tubuhnya dan berpikir ini bukan mengenai intimidasi. Mungkin pria tampan, tinggi, dan berbahaya itu mengusir para wartawan yang terlalu dekat  atau mereka yang tidak takut untuk mewawancarainya.

“Oh, benar-benar pikiran yang indah.” gumam Cyro dengan tubuh yang sedikit gemetar.

Matanya terasa gatal. Perutnya melilit. Pikirannya pun belum sempat beristirahat semalaman. Ia mendekap lututnya, mendengarkan suara Harry yang berulang-ulang di benaknya. Cyro dapat melihat jelas mata pria itu. Matanya yang pucat dan dalam, seolah mampu menatap menembus jiwanya. Dan ia juga bisa merasakan ciuman pria itu.

Semua perkataan Harry terngiang dalam benaknya. Ketakutan berperang melawan hasrat dan rasa kehilangan yang mendalam. Ia tak punya bukti bahwa pria itu berbahaya. Lagi pula, Harry tidak membunuhnya. Dia memiliki lebih dari cukup waktu untuk melakukannya, tapi ia tetap tidak menyakitinya sedikitpun. Well, kecuali menyakiti egonya.

Di luar, kegelapan menyelimuti langit malam. Pesta telah berlangsung berjam-jam lamanya. Suara musik, tawa, dan teriakan sayup-sayup menyelinap ke kamarnya yang letaknya persis di bagian belakang rumah. Dan meskipun ia terganggu dengan dentuman musik, Cyro berterimakasih karenanya. Paling tidak, ia tidak harus sendirian di tengah kesunyian rumah tanpa siapapun dan hanya ditemani pikiran-pikiran gila yang merayapinya.

Ketika akhirnya pesta usai, ia tahu bahwa Jessica, Mary, dan Bryan ada di rumah bersamanya. Ia tak lagi sendirian. Cyro menatap kosong saat pikirannya terus berputar selama berjam-jam ia menunggu fajar merekah di langit. Ia tetap duduk diam membatu. Menatap malam lenyap dengan perlahan. Saat sinar pucat pertama berubah menjadi merah keunguan, Cyro menarik napas lega.

“Bodoh.” gerutunya pada diri sendiri. Ia merasa aman sekarang dalam cahaya siang hari. Selamat dari rasa takut yang mencengkeramnya selama beberapa jam terakhir. Cyro merangkak turun dari ranjang. Mematikan lampu tidur di samping ranjang dan lampu utama yang menyala sepanjang malam.

Immortal (LGBT) {INCOMPLETE} [OLD VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang