Sudah beberapa hari Jin tidak masuk sekolah tanpa kabar. Bahkan mengabarinya saja tidak. Biasanya, meskipun mereka sering bertengkar, Jin tak pernah absen mengirimkan pesan bernada sarkas pada Wendy.
Wendy bingung. Setiap pulang sekolah dia tatap rumah Jin, melongokkan kepala melampaui pagar untuk melihat keadaan di dalam sana. Tapi, tak juga terlihat tanda-tanda keberadaan Jin. Dia sampai mengintip lewat jendela kamarnya yang mengarah langsung ke jendela kamar Jin. Tapi, hasilnya sama saja. Jin tidak terlihat. Bahkan, kadang jendelanya tidak tersibak.
Pulang sekolah, Wendy pun memutuskan mendatangi rumah Jin. Ia membawa tugas OSIS dan PR yang menumpuk yang seharusnya dikerjakan Jin, sambil bergumam, “Awas ya Jin kalau ketemu. Gue bakal ejek lo habis-habisan!”
Di depan rumah Jin, Wendy mendapati pintu gerbang tertutup rapat, sama seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan, sekarang digembok. Ia mengetuk beberapa kali, tapi tidak ada jawaban.
Bahu Wendy terkulai lemah. Sekarang dia juga tidak bisa menemui Jin lagi?
Cowok itu kenapa, sih? Kalau ini karena dia sering meledeknya, Wendy janji nggak akan meledeknya lagi kalau bertemu nanti.
Beberapa hari kemudian, Wendy berhasil membujuk Tante Mina untuk membiarkannya masuk. Meski Tante Mina tidak mengatakan apa yang terjadi pada Jin dan kenapa dia menghilang tanpa kabar, Tante Mina berbaik hati membiarkannya menemui Jin.
Ia menemukan Jin di dalam kamar, terbaring di tempat tidur dengan tirai tertutup rapat. Di meja, ada beberapa bungkus obat. Begitu menyadari kehadirannya, Jin langsung memasukkan obat-obatan itu ke dalam laci nakas.
“Jadi, ini cara lo kabur dari gue?” sarkas Wendy dengan nada bercanda.
Jin hanya menoleh malas.
“Kenapa sih, sampai harus drama kayak gini? Gue minta maaf udah ngatain lo. Gue tau lo marah, tapi seenggaknya kasih gue kabar. Jangan ngilang berhari-hari kayak gitu.”
Nada bicara Wendy yang berubah—ada amarah, kesedihan, dan kekecewaan—membuat Jin menatapnya. Mereka bertatapan dalam untuk beberapa saat.
“Gue nggak peduli alasan lo apa, tapi gue nggak mau kehilangan bahan ledekan gue di sekolah.” Wendy menarik kursi belajar untuk duduk di sana, lalu mengeluarkan buku PR serta sebuah map dari dalam tas. “Sebagai ketua OSIS lo nggak boleh mangkir dari tugas, dong. Kerjain laporan pertanggungjawaban! Dan ini PR dan catatan selama lo nggak masuk. Kurang baik apa gue ngumpulin ini semua buat lo.”
Jin tersenyum kecil untuk pertama kalinya dalam seminggu.
Di sore hari yang redup, yang cahaya jingganya terlihat dari balik jendela, Wendy dan Jin duduk berdampingan di depan meja belajar mengerjakan PR dan laporan OSIS dengan suasana yang jauh lebih hangat, tanpa sarkasme seperti yang biasa mereka lakukan.
Beberapa saat mereka sama-sama terdiam setelah perbincangan panjang tentang hal-hal remeh. Jin sibuk mengerjakan tugasnya, sampai tak sadar di sebelahnya hening. Tak lagi terdengar ocehan Wendy.
Dia menoleh. Rupanya, Wendy ketiduran di atas meja beralaskan buku. Jin menatapnya dalam, perlahan tersenyum kecil.
“Cewek nyebelin.”
Tapi, sayangnya Jin suka.
Ya, sebenarnya Jin sudah menyukai Wendy sejak lama. Sikap Wendy yang kerap meledeknya begitu menyebalkan, tapi di saat yang sama Jin tidak bisa mengelak perasaannya bahwa dia menyukai tingkah Wendy yang itu, yang entah sejak kapan di matanya justru menggemaskan. Dan selalu menunggu-nunggu untuk diganggu makhluk kecil namun cerewet ini.
Jin perlahan mendekat. Tangannya ragu-ragu menyentuh rambut Wendy, lalu menyingkirkan helaian yang menutupi wajahnya. Terpampanglah wajah Wendy yang cantik jelita, putih, bersih tanpa noda. Paras cantiknya membuat Jin seakan tertarik untuk mendekatkan wajahnya. Tanpa sadar ingin mencium bibirnya.
Dan saat itu, mata Wendy terbuka. Jin tersentak.
Tanpa diduga Wendy tak marah atau mendorongnya menjauh.
“Cium aja,” kata Wendy nyaris berbisik.
“Tapi, gue bukan pacar lo.”
“Harus pacaran dulu baru boleh cium?”
“Iya, kan...?”
Wendy mengangkat kepalanya agar bisa menatap Jin lebih baik, “Kalau gitu, kita pacaran aja.”
Jin membelalak dengan kefrontalan Wendy, “Serius? Memangnya gue suka sama lo?” guraunya.
“Kalau nggak suka, ngapain mau cium gue. Pas gue lagi tidur lagi. Curang.”
Jin tertawa kecil. “Iya, memang gue suka sama lo. Lagu yang gue nyanyiin di acara pensi kemarin, itu sebenarnya buat lo.”
Gemas, Jin mengusak rambut Wendy, “Kalau lo? Memangnya lo suka sama gue?”
“Suka.”
Jin mengerjap kaget. Sesaat kemudian, dia tersenyum, “... Kenapa?” tanyanya lembut.
“Lo ganteng.”
“Ng? Itu doang? Tapi, kan gue suka pink.”
Wendy menggigit bibir, merasa bersalah, “Yang lo nggak tau, gue ngatain lo bukan karena nggak suka. Tapi karena... lo imut.” Dia tertunduk, mencoba menyembunyikan wajah malunya dari Jin.
“Ih, caper!” ledek Jin sambil menjawil hidung Wendy.
Jin terdiam lama. Wajahnya berubah datar. Tangannya mengepal seperti menahan sesuatu. Memejamkan mata, akhirnya Jin mengangguk setelah beberapa saat. “Ng. Kita pacaran.”
Wendy tersenyum senang, “Udah pacaran, nih. Berarti kita boleh ciuman, kan?”
Jin pun mendekatkan wajahnya. Sangat perlahan seolah memberi waktu bagi Wendy untuk mundur jika ia mau. Tapi, Wendy tak bergerak. Matanya terpejam saat Jin semakin menipiskan jarak.
Ketika bibir mereka bertemu, sentuhannya lembut seperti angin yang menyentuh daun. Tangan Jin terulur ke belakang tengkuk Wendy, menariknya. Ciuman yang sederhana namun dalam, seolah mereka berbagi sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang terpendam dalam.
Mengaburkan kenyataan, tembok besar itu runtuh. Teman kecil yang lebih seperti musuh karena selalu bertengkar suatu hari bisa sedekat ini, berbagi kasih seperti ini.
Namun, saat Jin menarik diri, sesuatu yang tak terduga terjadi. Setetes darah jatuh dari hidungnya. Jin segera menangkup hidungnya. Matanya melebar.
“Jin! Kamu mimisan!” Terlambat. Wendy sudah melihatnya. Dia yang berseru panik segera meraih tisu dari atas meja.
Jin hanya tertawa kecil, namun lemah. “Jangan khawatir. Ini biasa,” katanya dengan nada santai, meski wajahnya terlihat pucat. “Nggak usah panik, Wendy.” Tapi, Wendy tetap panik.
“Wendy, nggak usah panik. Aku nggak apa-apa,” ucap Jin sekali lagi begitu sadar mata Wendy berkaca-kaca.
“Ka-kamu harus ke rumah sakit. Tante Mina!” Sebelum Jin sempat mencegahnya, Wendy sudah keluar melapor pada ibu Jin.
Jin menghela napas. Padahal, dia ingin menyembunyikan penyakitnya dari Wendy. Tapi, Wendy malah harus tahu seperti ini.
Wendy kukuh ingin ikut Jin ke rumah sakit. Dan baru tahu kalau Jin menderita penyakit. Leukemia akut.
Pantas Jin selalu di rumah jika bukan hari sekolah. Dan beberapa hari belakangan nggak masuk sekolah pasti karena penyakitnya itu. Pantas saat di kamar Jin banyak obat-obatan yang coba Jin sembunyikan darinya.
Wendy selalu melihat ke balik tirai jendela kamarnya yang mengarah langsung ke jendela kamar Jin. Menunggu apakah Jin sudah pulang dari rumah sakit.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Wendy duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi rumah di seberang. Jendela kamar Jin yang biasanya terang kini gelap, kosong tanpa bayangan pemiliknya.
Angin malam yang dingin menyusup masuk melalui celah jendela, membuat Wendy menarik selimut kecil ke bahunya. Tapi, dingin itu bukan apa-apa dibanding kehampaan yang ia rasakan tiap kali menatap jendela itu.
“Jin, kapan kamu pulang?” gumamnya pelan dengan nada bergetar sendu yang menyakitkan.
Sejak Jin dirawat di rumah sakit, Wendy merasa ada sesuatu yang hilang. Suara teriakan Jin tiap kali dia jaili, senyum tipisnya, bahkan cara mereka bertengkar untuk hal-hal sepele—semua itu kini menjadi kenangan yang menyesakkan dada.
Tiap sore, tiap pulang sekolah, Wendy akan langsung duduk di dekat jendela kamarnya, berharap melihat sosok Jin berdiri di balik jendela kamarnya. Namun, hari demi hari berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran cowok itu. Hanya tirai yang tetap tertutup rapat.
Hingga suatu malam, Wendy hampir menyerah. Ia membaringkan kepalanya di atas meja, dengan matanya yang lelah perlahan terpejam. Tapi, tiba-tiba sebuah suara menarik perhatiannya. Jendelanya seperti dilempari benda kecil. Bergegas ia mengangkat kepala. Matanya membelalak penuh harapan.
Dia terkesiap hampir tak percaya. Di balik tirai yang perlahan tersingkap, muncul sosok Jin, berdiri dengan tubuh yang tampak lebih kurus, tapi senyuman tipis yang sama masih ada di wajahnya.
Wendy berdiri tergesa-gesa. Tangannya menyentuh jendela seolah ingin menjangkau Jin. Haru, air mata membasahi pipinya, meski senyuman lega terukir di wajahnya.
Jin mengangkat tangan, memberi lambaian kecil. Meski tubuhnya terlihat lemah, matanya yang menatap Wendy penuh kehangatan seolah ingin berkata, Aku di sini.
Bergegas, Wendy meraih ponselnya. Setelah mengutak-atiknya beberapa saat, dia bawa benda itu ke telinga. Di seberang, Jin melakukan hal yang sama setelah deringan panjang.
“Kangeen,” rengek Wendy sesaat kemudian.
Jin tersenyum, “Aku juga kangen,” balasnya. Suaranya terdengar lemah. Dan itu membuat Wendy perlahan terisak.
“Kamu di sana aja. Aku yang akan nyamperin kamu.” Wendy sudah ingin mematikan sambungan, tapi suara Jin menahannya.
“Jangan ke sini dulu! Aku masih sakit, Wendy.”
“Memangnya kamu sakit apa, sih? Kamu kan bukan kena virus. Kenapa aku nggak boleh ketemu?” kesal Wendy, meski sambil menangis.
Jin menunduk, sedih sudah membuat Wendy menangis seperti itu. Tapi, dia tak ingin Wendy melihat keadaannya. Ini yang membuatnya sempat bingung untuk memutuskan pacaran dengan Wendy atau tidak. Dia tidak mau membuat Wendy sedih dan ikut menderita dengan keadaannya.
Namun, rasa sayangnya yang terlalu besar pada Wendy membuatnya ingin egois.
Dan keputusannya itu malah benar-benar menyakiti Wendy dan membuat gadis itu sedih seperti itu.
“Kita kan bisa ketemu di jendela,” Jin terkekeh.
“Nggak mau. Nggak suka! Aku nggak bisa peluk, cium kamu,” ucap Wendy manja.
Jin mengulurkan tangan ke dekat kaca jendela. Meniupnya, lalu menggambar sebuah hati di sana, “Kamu lihat ini. Anggap hati ini adalah hatiku yang memeluk kamu.”
“Apa, sih. Nggak lucu.” Meski begitu, Wendy tetap tertawa kecil di antara isaknya.
Jin tersenyum hangat, “Aku sayang kamu, Wendy.”
Ungkapan cinta yang membuat Wendy tertegun. Dia tersenyum malu saat jantungnya berdetak kencang, “Aku juga sayang kamu, Jin. Bangeet. Please, sembuh, ya,” mohonnya memelas.
Meski mereka tidak bisa bertemu secara langsung, mereka tetap menepati janji untuk selalu bertemu di jendela setiap harinya. Bercerita panjang lebar tentang apapun. Lebih banyak diisi oleh cerita Wendy, dengan Jin yang mendengarkan dengan setia. Dan sesekali saling melempar gambar hati di kaca jendela.
Di sekolah, Wendy yang biasanya ceria jadi lebih sering murung. Jin nggak ada, semangatnya jadi hilang. Dan ingin cepat-cepat jam pulang sekolah karena ingin bertemu Jin di jendela.
“Kapan sih Jin masuk sekolah lagi?” gumamnya sendu.
Hingga ponselnya berdering. Dahinya agak berkerut saat nama Mama tertera di layar. Tidak biasanya Mama menelepon saat dia sekolah.
“Wendy. Duh.”
“Iya, Ma?”
“Mama nggak mau kamu bolos, tapi kayaknya Mama bakal merasa bersalah kalau nggak kasih tau kamu.”
“Ada apa sih, Ma?”
“Barusan Tante Mina pamit sama Mama. Hari ini mereka mau ke Amerika karena Jin harus berobat di sana.”
“Apa?!”
Dengan cepat Wendy melesat keluar, menuju rumahnya, tak peduli jam pelajaran sekolah masih berlangsung. Dia harus menemui Jin.
Sepanjang jalan dia terisak. Apa-apaan Jin mau pergi begitu saja tanpa pamit padanya!
Wendy terkesiap saat Jin serta kedua orang tuanya sudah di depan rumah siap menaiki mobil. Dia mempercepat larinya.
“Jiiin!”
Jin yang nyaris masuk ke dalam mobil pun berbalik. Dia terhenyak.
“Ma, Pa, sebentar,” pamitnya pada kedua orang tuanya lalu menghampiri Wendy. “Wendy, kamu nggak sekolah?”
“Dan biarin kamu pergi, lalu pulang-pulang aku menunggu kamu di jendela seperti biasa tanpa tau kamu udah nggak ada?” sinis Wendy, “Kenapa kamu nggak bilang? Kamu mau kabur? Mau lupain aku?” Wendy menangis semakin kencang.
Jin menunduk sendu. Dia bawa Wendy ke dalam dekapannya. Dia tidak memberitahu karena tidak ingin melihat Wendy menangis seperti ini. Tapi, dia juga ingin memeluk Wendy untuk yang terakhir kalinya.
“Wendy, aku cuma pergi sebentar,” lirih Jin, meski sebenarnya dia belum tahu berapa lama pengobatannya akan berlangsung.
“Kita baru pacaran. Tapi, aku bakal jahat kalau melarang kamu berobat, kan. Tapi, aku nggak mau kamu pergi. Nanti kita nggak bisa sering ketemu. Huaa! Aku bingung!”
Keimutan Wendy membuat Jin tertawa kecil.
“Siapa yang bakal marahin aku kalau aku nggak bikin PR. Siapa yang bakal nyapa aku pagi-pagi lewat jendela. Siapa yang bakal lemparin jendela kamarku pakai batu tiap kali mau ketemu aku.”
“Wen, kita akan ketemu lagi nanti.”
“Janji, ya?”
Jin mengangguk pasti.
“Tiga tahun, lima tahun. Berapa lama pun aku akan tunggu,” ucap Wendy, “Oh, nggak!” Wendy sedikit menjauh.
Jin menatapnya penasaran.
“Kamu di sana aja. Lima tahun lagi aku akan punya uang banyak dan menyusul kamu ke Amerika. Kamu ingat kan, aku pernah bilang aku yang akan menghampiri kamu duluan. Tunggu aku ya, Jin.”
.
.
.
Setiap hari Wendy selalu memandangi jendela kamar Jin. Kata Mama, rumah orang tua Jin nggak dijual kepada siapapun. Dengan begitu, Wendy masih berharap Jin akan muncul dari sana suatu hari nanti.
Tapi, suatu hari itu kapan?
Waktu berlalu dengan pelan, seolah dunia ikut bersekongkol melambatkan harapan Wendy. Setiap malam, ia duduk di tepi jendela, memandangi jendela kamar Jin yang selalu gelap. Sudah dua tahun sejak Jin pergi ke Amerika untuk pengobatannya. Dua tahun penuh kerinduan dan ketidakpastian.
Setiap malam ia tetap di sana, menanti keajaiban kecil di balik jendela yang sunyi itu. Dia sudah berjanji pada Jin akan menunggu cowok itu kembali, berapapun lamanya.
Hingga suatu malam, tanpa peringatan, keajaiban itu datang.
Wendy yang hendak tidur, baru saja mematikan lampu kamar ketika sebuah cahaya kecil menyelinap dari jendela seberang menarik perhatiannya. Ia tertegun. Tubuhnya membeku sejenak. Jendela kamar Jin yang selama ini tertutup gelap, kini menyala terang. Cahaya hangat memancar ke luar, menerangi rumah yang selama dua tahun terakhir kosong.
Apa orang tua Jin sudah menjual rumahnya?
Dia memandangi jendela, tapi tak ada tanda-tanda Jin akan muncul. Berarti memang mereka sudah menjual rumahnya.
Wendy menunduk sedih. Kalau begini, bagaimana caranya dia bertemu Jin nanti? Apa dia tidak akan bertemu dengan Jin lagi?
Atau... apa Jin tidak akan kembali?
Kemudian, tirai jendela di seberang perlahan tersingkap. Sosok yang begitu ia rindukan berdiri di sana, lebih tinggi dari yang dia ingat, dengan wajah yang tampak lebih dewasa dan segar.
Wendy tak percaya, sampai Jin melempar batu kecil ke arah jendela kamarnya meminta Wendy membukanya.
“Jin? Beneran kamu??”
Dan Jin tersenyum. Masih senyum yang sama seperti saat ia pergi dua tahun lalu.
Jin mengangkat tangan, meniup kaca jendela, lalu menggambar hati seperti yang dulu sering ia lakukan. “Ini aku. Masih dengan hati yang sama.”
Wendy tidak bisa menahan air matanya, “Tunggu di sana! Aku yang akan datangin kamu seperti janjiku.”
Wendy pun berlari keluar. Sampai di luar, dia sudah menemukan Jin menunggunya di depan rumah. Wendy tak langsung memeluknya. Dia memandangi Jin tak percaya. Masih ragu itu nyata Jin atau bukan. Tak sampai lima tahun, Jin sudah kembali.
“Beneran kamu, kan?” gumamnya.
Jin pun berjalan cepat dan memeluk Wendy, “Ini benar aku. Kali ini, aku yang menghampiri kamu duluan.”
Senang, Wendy balas memeluknya erat, “Jiin, aku kangen banget! Aku nungguin kamu setiap hari tau nggak! Dasar bodoh!”
“Kalau tau kamu setia begini, aku mungkin pulang lebih cepat,” ucap Jin dengan nada bercanda. “Aku juga kangen kamu, Wen. Sangat.”
Wendy menjauh sedikit untuk memandangi Jin. Dia rengkuh wajah tampan itu, “Kamu udah sehat?”
“Kayak yang kamu lihat.”
“Aku kira kamu bakal lupain aku dan pacaran sama bule di sana.”
“Lho, aku kan udah punya cewek bule-ku sendiri. Ngapain nyari yang lain,” ucap Jin mengusap lembut wajah Wendy, “Wendy, I loveyou. Aku nggak akan pergi lagi.”
Malam itu, kamar Jin kembali menyala, dan hati Wendy kembali penuh. Kerinduan yang tertahan akhirnya terjawab. Tidak ada lagi malam-malam penuh penantian menyakitkan. Meski mungkin mereka akan tetap berbincang lewat jendela, dengan gambar hati yang tak akan pernah hilang.