Heart on the Window (Wenjin)

212 23 3
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


------------------------------------------------------

HEART ON THE WINDOW (PART 1)

Casts:

Red Velvet Wendy as Wendy

BTS Jin as Jin

Genre: teenage romance, school life

--‐--------------------------------------------------------


.
.
.
.
.




Langit di sore hari itu masih cerah saat seorang gadis kecil berusia sembilan tahun bermain-main sendirian di taman. Berlarian ke sana ke mari dengan aktif mencoba semua permainan; bermain ayunan, kalau sudah bosan naik-turun perosotan tanpa henti.

Wendy, gadis itu, selalu senang setiap Mama mengajaknya ke taman yang letaknya tak jauh dari rumahnya ini. Di sekolah ada juga sih permainan seperti ini. Tapi, di sana Wendy tidak bisa leluasa karena waktunya dibatasi.
Sementara, Mama yang pergi bersamanya duduk diam mengamati dari jauh. Sudah biasa melihat putri kecilnya begitu aktif.

Sekaligus juga dia sedang menunggu seseorang di sini.

“Daraa!”

Mama Wendy menoleh saat seseorang menyebut namanya. Dan dia seketika tersenyum lebar menyambut wanita itu dengan sukacita.

“Minaa!”

Mama Wendy pun berlari menyambut wanita itu, teman lamanya yang baru pindah ke lingkungan tempat tinggal mereka.

Dari kejauhan, Wendy yang sedang ancang-ancang berseluncur di perosotan untuk kesekian kalinya, mendengar teriakan mamanya jadi langsung menoleh. Dengan menajamkan penglihatan sampai dahinya berkerut, dia bertanya-tanya. Mama bersama siapa?

“Aku seneng banget kamu tinggal di sini!” Mama Wendy berseru heboh sambil mengayunkan kedua tangan Mina.

Mina mengangguk cepat, sama antusiasnya, “Kita sering-sering main bareng, ya.”

“Pasti!” Lalu, Mama Wendy menyadari sahabatnya tidak sendirian. “Ini pasti Jin, ya?” Kepalanya tertunduk, lalu berlutut di depan bocah lelaki yang sedari tadi bersembunyi di belakang sang mama.

“Jin, ini Tante Dara. Rumahnya sebelah rumah kita, lho.”

“Hai, Jin. Salam kenal, ya.” Seraya tersenyum hangat, Mama Wendy mengusak kepala bocah lelaki tampan itu. “Oh, Tante juga punya anak seusia kamu, lho. Wendy, sini!”

Wendy yang dari tadi masih mengamati pun bergegas meluncur dan berlari menghampiri Mama. Akhirnya, Mama memanggilnya, jadi dia bisa tahu siapa yang Mama ajak bicara.

Lalu, Mama mengenalkannya pada bocah lelaki yang terlihat lugu karena terus menggandeng tangan ibunya dan sebelah tangannya lagi mengemut ibu jari. Wendy memiringkan kepala. Bocah itu cukup tampan, tapi kelakuannya aneh. Apalagi pakaiannya yang serba... pink?

Wendy dan Jin ditinggal bermain oleh mama mereka, sementara mama mereka asyik mengobrol melepas rindu. Dan sejak tadi Wendy tak berhenti terkikik kecil sambil melirik-lirik penampilan Jin; kaos dan jaketnya berwarna pink, celana pendeknya juga, bahkan sampai sepatunya.

Jin yang tengah bermain pasir dengan sekop kecil menatap aneh bocah perempuan yang baru dia kenal. Dia kenapa? Dari tadi tertawa sendirian. Apa di tempat ini ada hantu, dan dia kerasukan? Hiiy!

“K-kamu kenapa?” tanya Jin mulai bergidik. Dan perlahan, dia menangis. Dia tidak mau memiliki teman aneh.

Mendengar suara tangisan anaknya, Mina dengan cepat menghampiri. “Kenapa, Nak?” tanyanya.

“Huhuhu...” Jin terus menangis sambil menunjuk-nunjuk Wendy.

Dara yang melihatnya pun bertanya pada sang putri, “Wendy, kamu main dengan baik sama Jin, kan?” tanyanya hati-hati, tidak ingin langsung menyalahkan sang putri tanpa alasan.

Sedangkan, Wendy masih terkikik, “Tante, kok anaknya pakai baju pink?” ceplosnya polos.

“Ha? Oh... Iya, Jin memang suka sekali warna pink,” jawab Mina lembut.

Pink itu kan warna perempuan.”

Di sisi lain, mendengar pertanyaan itu tangisan Jin jadi terhenti. Oh, gadis itu tertawa bukan karena kerasukan hantu, tapi karena melihat pakaiannya. Tetap saja dia tidak terima, “Mamaku bilang warna nggak ada perempuan dan laki-laki tau. Dia nggak punya... apa namanya, Ma?”

“Jenis kelamin.”

“Iya. Warna itu nggak punya jenis kelamin,” jelas Jin membela diri.

“Terus, kok kamu pakai jepit rambut pink?” tunjuk Wendy pada jepit rambut berwarna pink di kepala Jin, senada dengan warna pakaiannya. “Jepit rambut nggak punya jenis kelamin juga? Biasanya kan perempuan yang pakai.”

Semua terdiam. Merasa situasi jadi canggung, Dara pun menyela.

“Wendy, kenapa bicara begitu? Ayo, minta maaf!” perintah Dara.

Tapi, Wendy tetap bergeming sambil bertatapan dengan Jin. Dia kan berkata benar, kenapa harus minta maaf? Di sekolahnya, teman-temannya yang memakai jepit rambut hanya anak perempuan.

Karena Wendy hanya diam saja, Dara menggeram. Sebelum berubah senyum saat menatap Jin dan Mina, “Jin, maafin anak Tante, ya. Mina, maaf, ya. Kita main lain kali ya, Mina.” Dara melempar cengiran canggung, buru-buru menarik Wendy, “Wendy, ayo, pulang! Aduh, kamu kalau bicara yang benar! Mama nggak pernah ngajarin bicara begitu, Wendy,” omel Dara sambil menarik Wendy pulang. Dia memang sudah biasa dengan kelakuan ajaib putrinya. Tapi, masalahnya di depan sahabatnya sendiri. Jangan sampai hubungan mereka jadi tidak baik karena ini.

Sementara, Jin cemberut dan melepas jepit rambut dengan kasar. Ini semua gara-gara kakaknya yang sudah usil memakaikannya jepit rambut.

Namun, sejak itu Wendy sudah terlanjur memanggil Jin pinky boy. Sampai mereka SMA, Wendy masih suka meledeknya.

Dan mereka sekarang satu sekolah. Bertemu sebagai ketua OSIS dan anggotanya tidak menghentikan Wendy untuk mengejek Jin. Bahkan, di depan anggota OSIS yang lain.

Sekolah akan mengadakan pentas seni. Dan OSIS menanganinya. Rapat OSIS untuk membicarakan acara tersebut pun diadakan, dengan Jin sebagai pemimpin rapat.

“Gue udah bikin rencana kasar tentang pentas seni nanti,” ujar Jin seraya membagikan lembaran berisi skema rencana yang sudah dia buat, “Mulai dari konsep tema. Gue usul untuk pensi tahun ini kita buat dengan tema sirkus.”

“Pft.”

Penjelasan Jin terhenti saat seseorang tertawa tertahan yang bisa ia dengar. Ha! Cewek itu lagi.

“Wendy, kenapa ketawa?” tanyanya tersinggung. Tatapannya terhunus tajam pada cewek yang sering sekali mencari gara-gara dengannya itu.

“Maaf, gue nggak salah denger? Sirkus? Lo mau bikin acara pensi atau ulang tahun anak-anak?” Wendy terkikik.

“Lo pikir sirkus cuma buat anak-anak?” sentak Jin. Nada bicaranya naik satu tingkat.

“Kalau gue boleh saran, lebih baik kita pakai tema musikal. Sekolah kita punya ekskul teater, paduan suara, balet. Kita tampilkan semuanya di acara nanti. Sekaligus promosiin keterampilan siswa-siswa sekolah kita juga, karena nanti kan yang nonton bukan cuma siswa sekolah kita, tapi juga sekolah lain,” usul Wendy.

Semua mengangguk, diam-diam suka dengan ide Wendy.

“Kalau temanya sirkus, lo mau adain acara apa rencananya?” tanya Wendy.

“Tema sirkus juga bisa kembangin ekskul kita. Drum band, misalnya. Kita bisa bikin festival ala-ala pasar malam. Adain parade yang isinya ekskul-ekskul yang ada di sekolah kita. Bisa jadi ajang promosi ekskul sekolah kita juga, kan,” balas Jin menjelaskan.

“Lo mau bikin acara pensi atau karnaval pakai parade segala?” Wendy tertawa remeh.

Jin bersedekap, tampak bengis, “Lo sebenarnya ngasih ide atau cuma mau ngatain ide gue?”

“Lho, gue kan kasih saran yang pantas buat pensi sekolah kita. Kok lo malah marah?”

Jin masih menatap Wendy sinis. Mereka berdua bertatapan tajam. Meski memang ada kalanya Wendy memberikan ide-ide yang brilian setiap OSIS mengadakan acara, tapi Jin tidak suka cara Wendy mengutarakan saran yang seolah-olah mencemoohnya.

“Kita voting aja, Jin.” Merasa suasana jadi panas, seseorang memberi saran, yang lantas membuat tatapan tajam keduanya terputus.

Dengan kesepakatan bersama, akhirnya diadakan voting untuk memilih konsep tema pentas seni kali ini. Dan dengan suara terbanyak, diputuskan melakukan tema musikal seperti yang disarankan Wendy.

Jin menggeram kesal. Bukan karena idenya tidak diterima. Dalam kepemimpinannya, dia cukup bijaksana bahwa semua hal harus didiskusikan bersama sehingga semua anggota merasa puas. Dia kesal karena dia kalah dari Wendy. Lihat saja sekarang. Wajah Wendy yang melempar seringaian penuh kemenangan padanya menyebalkan sekali.

Wendy menepuk pelan bahu Jin dan berbisik, “Jangan marah-marah, dong, pinky boy.”

Semua yang mendengar tertawa.

Sementara, Jin yang tersentak jadi semakin menggeram marah, “WENDY!!” serunya sementara Wendy berlari menjauh sambil tertawa-tawa. Jin kan jadi malu. Jadi nggak ada wibawanya sebagai ketua OSIS di depan anggotanya yang lain yang sekarang menertawakannya.

Sudah menjadi rahasia umum jika si ketua OSIS sekolah mereka dan salah seorang anggotanya ini sering sekali saling meledek. Tak jarang saling mengejar di koridor dan lapangan sekolah seperti kucing dan anjing.

“Duh, kalian pacaran aja, deh,” ucap salah seorang teman Wendy, yang lantas diamini teman-temannya yang lain. Bahkan, mungkin semua orang yang tahu hubungan mereka.

“Kalau gue jadi lo sih udah gue pacarin dari kapan tau daripada berantem tiap hari,” tambahnya.

Wendy hanya memutar bola mata. Sudah sangat sering dia mendengar ucapan itu dari mulut teman-temannya.

“Hooh. Jin kan keren. Tinggi, jago olahraga, anak band, pinter, ketua OSIS, ganteng lagi,” ucap yang lain sambil menangkup kedua pipi, kesengsem sendiri. Yang lainnya ikut berseru gemas, menyetujui sambil membayangkan ketampanan Jin.

“Lo beneran nggak suka sama Jin?”

“Gimana kalau Jin buat gue aja?”

Wendy mengorek kuping. Berisik sekali sih mereka. “Ambil aja sana!”

“Serius, Wen?”

“Iyaa.” Wendy mengibaskan tangannya, “Shuh. Shuh.”

“Padahal, cewek-cewek pada ngantre buat jadi pacar Jin. Tapi, lo nggak mau. Lo udah punya pacar, ya?”

“Nggak. Gue nggak mau pacaran. Nanti harus ngabarinlah, apalah. Males. Ribet.”

“Ihh. Awas kemakan omongan lo sendiri.”

Dan mereka kompak menertawakan Wendy.

“Kalau mereka sampai pacaran beneran, gue yang ketawanya paling kenceng.”

Btw, Jin udah punya pacar belum, sih? Kayaknya gue nggak pernah lihat dia sama cewek.”

Wendy mengangkat bahu tak acuh.

“Eh, Jin main basket, tuh!”

“Serius? Yuk, lihat, yuk!”

Lalu, dengan heboh mereka berduyun-duyun berlari ke arah lapangan basket. Meninggalkan Wendy seorang diri.

“Apaan, sih. Main basket aja sampai segitunya,” cibirnya.

Tapi, kaki Wendy melangkah ke lapangan, ikut melihat. Dia tahu sih, Jin memang suka basket. Tapi, dia baru tahu kalau Jin sejago itu memainkannya. Bahkan, Jin yang selalu mencetak skor. Dengan mudah memasukkan bola ke dalam ring.

Tanpa sadar, Wendy terus memperhatikannya sampai melongo. Lalu, saat Jin menebarkan senyuman pada cewek-cewek yang menyorakinya di pinggir lapangan, Wendy tersadar dari lamunan.

“Cih, tebar pesona banget,” cibirnya.

Dan saat Jin selesai bermain basket, semua cewek itu berduyun-duyun menghampiri dan mengerubunginya.

“Eh, pada mau ngapain? Ya ampun!” Wendy melongo melihatnya. Tak habis pikir pada kelakuan cewek-cewek itu. Dipikir Jin itu artis apa. “Norak banget. Iyuh.” Wendy pun berlalu.

Dan di antara kerumunan cewek-cewek, Jin memandangi punggung Wendy yang menjauh.


***


Hari berlangsungnya pentas seni pun datang. Aula sudah penuh oleh siswa, guru, bahkan dari siswa sekolah lain untuk menyaksikan kemeriahan pentas seni sekolah yang memang sudah dikenal di penjuru kota dan ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Dibuka dengan penampilan teater musikal yang melibatkan siswa-siswa dari berbagai ekstrakurikuler, lalu diikuti penampilan band, baik band yang beranggotakan siswa sekolah maupun band papan atas dalam negeri.

Penonton tiba-tiba kompak bersorak bahkan sebelum pembawa acara mengumumkan pengisi acara selanjutnya. Seakan kehadiran mereka sudah ditunggu-tunggu, meski bukan artis papan atas.

Sampai akhirnya tujuh pemuda menaiki panggung sorakannya justru semakin riuh.

Jin tampil dengan band-nya, berdiri di sayap kanan bertanggung jawab terhadap instrumen gitar akustik. Banyak cewek-cewek penggemarnya yang meneriakkan namanya membuat Wendy yang berdiri di pinggir panggung bertindak sebagai pengawas acara jadi pusing... dan kesal.

Sontak satu ide terlintas di benaknya, “Enaknya gue kerjain,” gumamnya tersenyum licik.

Lalu, tiba-tiba... “Pinky boy. Pinky boy. Go, go, pinky boy!!

Wendy berseru dengan seenaknya membuat orang-orang yang berdiri dekat dengannya jadi tertawa, dan itu terdengar oleh Jin. Di atas panggung, sambil menyanyi dia tatap Wendy dengan delikan tajam.

Tiba di lagu ketiga, lampu aula tiba-tiba menyala redup. Area panggung menjadi gelap gulita sampai tiba-tiba satu lampu sorot menyorot Jin seorang.

Melihat sosoknya, cewek-cewek mulai bersorak lagi. Lalu, menjadi hening saat melihat Jin hanya diam di depan mikrofon dengan gitar akustik di tangannya.

Wendy ikut penasaran. Sepertinya penampilan solo Jin ini tidak ada dalam rundown acara. Atau... apakah ini penampilan kejutan yang sengaja disiapkan band Jin?

Gitar mulai dipetik memecah hening. Lagu Perfect milik Ed Sheeran berkumandang. Suara Jin terdengar lembut, namun penuh emosi.

Dan sepanjang lagu dimainkan dia sering mencuri pandang ke arah seorang gadis di sudut panggung yang menatapnya bingung. Sebingung cewek-cewek yang penasaran sebenarnya Jin menyanyikan lagu seromantis ini untuk siapa. Karena jelas sekali Jin sengaja menunjukkannya pada seseorang.

Usai penampilan Jin selesai, Wendy langsung menghampiri Jin di belakang panggung. Dengan ceria dia menyapa teman-teman Jin yang beristirahat. Karena Wendy sudah dikenal, mereka pun balik menyapa Wendy dengan tak kalah ramah.

Wendy pun mendekati Jin yang ada di pojok ruangan, sibuk merapikan gitarnya.

“Lo punya cewek, ya?” tanya Wendy menanyakan rasa penasarannya sejak tadi. Dia memiringkan tubuh berusaha menatap wajah Jin yang entah kenapa terus membelakanginya. “Tadi itu lagu buat cewek lo, kan? Uhh... romantis amat,” ledeknya.

Jin mendelik, “Bukan urusan lo,” sinisnya, lalu membuang muka lagi.

Tapi, terlambat. Wendy sudah menangkap ekspresi malu-malu Jin berikut wajahnya yang memerah sampai ke telinga, “Ciee, pinky boy udah mulai jatuh cinta nih, ye. Telinganya sampai merah, tuh,” teriaknya meledek.

Jin yang tersentak melotot tak terima. Dia celingukan memandangi teman-temannya, takut mereka mendengar julukan menjijikkan yang diberikan Wendy padanya.

”Eh, btw, cewek lo tau nggak ya kalau lo pinky boy? Hahahaha. Aw!”

Wendy tersentak saat tahu-tahu Jin menarik lengannya. Dia memberontak sebisanya, tapi Jin lebih kuat. Cowok itu membawanya jauh sampai ke area kolam renang sekolah. Dan di dalam ruang ganti, Jin memojokkannya.

“Duh, apa, sih?!” teriak Wendy tak terima, “Hmph!” Wendy terkejut saat Jin tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Ujung hidung mereka bahkan nyaris bersentuhan.

Dalam jarak sedekat ini, Wendy bisa melihat jelas mata Jin yang jernih dinaungi alis yang tebal, hidungnya yang tajam, serta bibir tebal berwarna pink alami.

Wendy sampai membelalak karena terlalu terkejut.

Tapi, dengan jarak yang mungkin hanya setipis tisu ini Jin hanya diam memandanginya lekat. Napasnya menderu menerpa wajah Wendy.

“Lo... Ap-apa-apaan?!” ucap Wendy gemetar sampai bahkan tak bisa menggerakkan tangannya untuk mendorong Jin. Tangannya kaku di kedua sisi tubuh.

Jin menggeram, “Gue udah bukan bocah berjepit rambut pink yang dulu lo kenal suka ngemut ibu jari. Sekarang gue bahkan bisa ngemut bibir lo kalau lo terus-terusan ngatain gue pinky boy,” bisiknya tajam sarat ancaman. Suaranya terdengar serak.

Tersentak, Wendy sontak merapatkan bibir.

“Jaga bicara lo! Jangan lagi panggil gue dengan panggilan aneh itu!” Mendesah kasar, Jin pun berlalu.

Dan saat itu, Wendy buru-buru membuang napas banyak-banyak yang sempat tertahan tadi. Dia meneguk ludah begitu sadar dadanya nyeri bukan karena tercekat, tapi karena jantungnya berdebar kencang.

****




Haiii, aku balik lagiii

Yaampun, udah berapa lama ya nggak update lapak ini. Hahaha. Sekarang baru ada ide lagi gara2 Wendy sama Jin collab. Semoga masih ada yang simpan di library.

Story ini sekarang tentang Wendy and boys, yaa. Update-nya suka2 aja kalau aku ada ide,  hehehe.

Diary of WendyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang