Di tengah ibukota bagian utara wilayah Kerajaan Cerulean, di sebuah jalan yang dipenuhi pepohonan yang tertutup salju, berdiri toko mungil dengan papan kayu bertuliskan Sunkiss Bakery. Setiap pagi, dari cerobong batu toko itu mengepul aroma mentega dan madu, aroma yang bisa membuat siapa pun yang melintas berhenti sejenak hanya untuk menghirupnya lebih lama.
Pemiliknya, Wendy Ellowen, adalah gadis muda dengan rambut panjang lembut sewarna cokelat karamel dan mata bening seperti embun yang menahan cahaya matahari pagi. Setiap kali ia tersenyum suasana di toko menjadi lebih hangat daripada oven tempat kukisnya dipanggang. Senyumnya yang secerah mentari membuat siapa saja betah untuk datang ke tokonya, baik untuk sekadar membeli kukis atau pun memikat hati sang pemilik.
Sudah menjadi rahasia umum di wilayah utara bahwa gadis pembuat kukis itu adalah incaran banyak hati. Mulai dari rakyat jelata yang datang membawa sekeranjang buah untuk menukar kukis, hingga pedagang dari kota yang jauh yang pura-pura kehabisan uang hanya agar Wendy memberinya kukis gratis. Beberapa ksatria kerajaan bahkan datang setiap habis menjaga perbatasan, berharap bisa sekadar melihatnya menata loyang di etalase.
Di antara semua yang datang dengan pujian dan tatapan penuh harap, Wendy selalu tersenyum dengan cara yang sama. Hangat, sopan, namun tetap berjarak. Seolah ia menyimpan sesuatu di balik matanya yang jernih, sesuatu yang membuatnya tidak pernah benar-benar membiarkan siapa pun mendekat terlalu jauh.
***
Hari itu, Wendy bangun lebih awal dari biasanya. Langit masih berwarna kelabu muda. Burung-burung baru saja mulai bernyanyi, sementara dunia masih terbungkus keheningan yang manis. Ia menyalakan api di perapian, menyiapkan adonan kukis madu. Tepung, gula, dan cairan kental keemasan dari mentega yang dicairkan berpadu dalam mangkuk besar, diaduk dengan irama lembut seperti lagu yang hanya dimengerti oleh tangan seorang pembuat kukis sejati.
Sejenak menatap sekilas cermin tua di dapur untuk menyiapkan penampilannya. Bayangan di sana bukan sekadar wajah seorang gadis pembuat kukis. Di balik mata bening yang lembut itu, tiba-tiba kilau biru samar terpancar. Wendy berbalik kembali ke dapur, seolah tak terjadi apa-apa.
Lonceng di atas pintu berdenting. Wendy mendongak dari adonannya. Kebingungan karena masih terlalu pagi untuk berkunjung. Belum ada anak-anak yang berlarian membeli kukis hangat. Belum ada kumpulan wanita yang mampir untuk sekadar berbincang sambil menyeruput teh.