Di kelas, suasana hening saat guru geografi sedang menjelaskan materi. Hanya suara pena yang menulis di buku catatan dan sesekali batuk kecil siswa yang terdengar. Dana, yang duduk di barisan tengah, merasa sedikit gelisah. Dari tadi pikirannya tidak fokus pada pelajaran.
Dia mengetuk pelan bahu Vije yang duduk tepat di depannya.
"Vij, gue mau nanya," bisik Dana.
Vije menoleh sedikit tanpa menunjukkan banyak ekspresi. "Apa?"
"Pelajaran geografi ada PR nggak sih?" tanya Dana, suaranya masih dalam nada rendah agar tidak terdengar guru.
Namun, bukannya langsung menjawab, Vije justru menoleh ke arah Jerico, yang duduk di sebelah Dana. "Jer, geografi ada PR nggak?" tanyanya santai.
Jerico yang sedang mencoret-coret bukunya mengangkat kepala. "Nggak ada kok. Terakhir PR minggu lalu, kan udah dikumpulin."
"Oh, oke. Makasih," jawab Vije singkat sebelum kembali menghadap ke depan, fokus pada penjelasan guru.
Dana yang menyaksikan interaksi itu hanya bisa mendengus pelan. Dia memandang punggung Vije dengan tatapan kesal. Rasanya perlakuan Vije semakin hari semakin jelas menjauh darinya, tapi Dana tidak punya alasan yang cukup kuat untuk mengkonfrontasi hal itu.
"Kenapa lo malah tanya Jerico dulu? Gue kan yang nanya," batin Dana sambil mengetukkan pena ke meja dengan pelan.
Jerico melirik Dana sekilas, menyadari perubahan ekspresinya. "Lo kenapa, Dan? Mukanya kayak kertas PR yang lupa dikumpulin," gumam Jerico, berusaha membuat suasana lebih ringan.
"Enggak, btw lo garing anying ga usah ngejokes," jawab Dana singkat, berusaha menutupi perasaannya.
Namun, raut wajahnya yang masam tidak bisa dibohongi. Dalam hati, dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Vije. Apakah dia melakukan sesuatu yang membuat Vije berubah? Atau mungkin Vije hanya butuh ruang, seperti yang sering dikatakan Jerico?
Apapun alasannya, Dana hanya bisa menghela napas dan kembali memperhatikan papan tulis, meskipun pikirannya masih jauh dari pelajaran.
***
Di bibir lapangan, Tsabitna duduk sendirian, menatap kosong ke arah langit. Tubuhnya sedikit berkeringat setelah sesi praktek voli tadi, tapi wajahnya tetap tenang, seperti biasa. Di seberang lapangan, Karina memandangi gadis berambut pendek itu dengan ekspresi ragu.
Karina menggigit bibirnya, mencari momen yang tepat untuk mendekati Tsabitna. Entah kenapa, sejak Tsabitna bergabung dengan CofA, Karina merasa semakin bersalah. Dia pikir kalau Tsabitna gabung CofA karena ulahnya yang asal bully Bitna, ditambah Vije kini menitipkan Bitna kepadanya. Mengingat kebaikan gadis itu di luar sekolah, tentu karena Karina menjadi orang lain. Apa dia harus terus-terusan jadi orang lain untuk bitna?
Karina ingin sekali menyapa Bitna, minimal bisa deketin tu cewek dan saling ngobrol. Tapi rasanya ga mungkin karena ada dua temannya, Gigi sama Ningsih.
Sampai akhirnya, kesempatan itu datang. Guru olahraga menyuruh Karina dan Tsabitna untuk mengumpulkan bola voli yang masih berceceran di lapangan setelah kelas selesai.
"Karina, Tsabitna, kalian bantu kumpulin bola ya. Taruh di gudang olahraga," perintah guru mereka sebelum pergi.
Karina mencoba menenangkan diri, lalu mendekati Tsabitna yang masih duduk. "Bitna, ayo kumpulin bola dulu," ajaknya dengan nada ramah.
Tsabitna menoleh sebentar, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. Dia berdiri dan mulai berjalan ke lapangan untuk mengambil bola-bola yang berserakan.
Karina mengikuti di belakang, mencoba mencari topik pembicaraan. "Tadi lo main volinya keren, Na. Blok lo kuat banget," ucapnya, mencoba membuka percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐨𝐟𝐀√
Teen Fiction{𝐉𝐚𝐤𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠, 𝐉𝐚𝐲𝐡𝐨𝐨𝐧, 𝐒𝐮𝐧𝐰𝐨𝐧} 𝐇𝐞𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠/𝐍𝐚𝐠𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐨𝐫 𝐬𝐮𝐛 𝐉𝐚𝐤𝐞/𝐉𝐞𝐫𝐢𝐜𝐨 : 𝐝𝐨𝐦 𝐉𝐚𝐲/𝐕𝐢𝐣𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧/𝐃𝐚𝐧𝐚𝐝𝐲𝐚𝐤𝐬𝐚 : 𝐬𝐮𝐛 𝐒𝐮𝐧𝐨𝐨/𝐍𝐚𝐥𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝...
