17. 𓃟

668 67 11
                                        

Di tengah suasana tenang dan damai perpustakaan kota, Jaeve dan Nalen duduk di salah satu meja kayu besar yang dikelilingi rak-rak penuh buku. Cahaya matahari sore menembus jendela besar, menciptakan pola-pola hangat di lantai.

Jaeve sibuk menjelaskan rumus matematika yang baru mereka pelajari pagi tadi di sekolah. Di depannya, buku catatan dan kertas latihan berserakan. Nalen, di sisi lain, menopang dagunya dengan tangan, menatap tulisan Jaeve di buku sambil sesekali mencoret-coret angka di kertas latihan.

"Jadi, lo tinggal masukin nilai x ke persamaan ini," Jaeve menunjuk coretan di buku catatannya dengan ujung pensil. "Terus nanti keluar deh nilai y. Mudah, kan?"

Nalen memiringkan kepala, pandangannya terlihat bingung. "Mudah kata lo. Tapi otak gue kayaknya butuh istirahat setelah lihat angka segini banyak."

Jaeve mendesah kecil, tapi senyum masih menghiasi wajahnya. "Ya ampun, Nalen. Lo itu sebenarnya pinter, tapi malas banget sih. Kalau lo mau fokus sebentar aja, ini nggak susah."

"Kalau gue pinter, kenapa lo masih repot-repot ngajarin gue?" goda Nalen, matanya melirik ke arah Jaeve sambil tersenyum.

Jaeve menggeleng, berusaha tidak terpengaruh. "Gue ngajarin lo bukan karena lo nggak bisa, tapi biar lo nggak ngeblank pas ujian nanti. Jangan sampai gue lihat lo cuma nulis nama di kertas ujian, ya."

"Eh, itu cuma sekali kejadian, Jae!" protes Nalen sambil tertawa kecil.

"Apa sekali?" balas Jaeve dengan tatapan menyelidik. "Kalau dihitung-hitung, mungkin udah lima kali."

Mendengar itu, Nalen langsung memasang ekspresi pura-pura bersalah. "Yaudah, ya. Gue belajar serius sekarang. Ngomel mulu, pacar bukan gue di omelin mulu." Ngode banget ni bocah Chase Atlantic.

Jaeve tertawa kecil, menyerahkan pensil ke tangan Nalen. "Nah, gitu dong. Coba kerjain soal ini. Kalau salah, gue kasih tambahan soal lima kali lipat. Lagian gue ga harus jadi pacar lo buat ngomelin lo." Kayaknya Jaeve udah sangat amat terbiasa sama Nalen, ya saltingnya tambah parah tapi dia bisa sahutin semua perkataan Nalen.

Nalen menatap Jaeve dengan wajah setengah serius, setengah bercanda. "Lo galak juga, ya. Ga kebayang gimana kita nikah besok."

"Belajar dulu, baru ngomong," ujar Jaeve sambil melipat tangan di dada, menunggu dengan ekspresi puas.

Meski pura-pura mengeluh, Nalen akhirnya mulai mengerjakan soal yang diberikan Jaeve. Keheningan menyelimuti meja mereka di sudut perpustakaan. Nalen sibuk mengerjakan contoh soal yang diberikan Jaeve, dahinya sedikit berkerut saat dia mencoba memahami langkah-langkahnya. Di sebelahnya, Jaeve menyandarkan punggung ke kursi, merasa puas melihat Nalen akhirnya serius belajar.

Tiba-tiba, Jaeve mengeluarkan ponselnya. Dia membuka kamera dan mengarahkan lensanya ke arah mereka berdua. "Eh, bentar. Gue mau ambil bukti kalau kita beneran belajar," ujar Jaeve sambil tersenyum kecil.

Nalen mendongak dengan ekspresi bingung. "Bukti? Buat siapa?"

"Buat diri gue sendiri, dong. Biar gue inget kalau gue pernah ngajarin lo matematika dengan sabar," jawab Jaeve sambil tertawa kecil. ”Bercanda, bukti ke Bunda kalo lo juga bisa anteng belajar.”

Tanpa menunggu jawaban, Jaeve langsung mengambil selfie. Di foto itu, Jaeve tersenyum lebar, sementara Nalen terlihat masih menatap kertas dengan ekspresi setengah serius, setengah bingung.

"Lihat nih," Jaeve menunjukkan hasil fotonya ke Nalen.

Nalen melirik sekilas dan langsung tertawa. "Demi dewa, muka gue kayak lagi kena ujian hidup." Terbukti Nalen cucunya Nenek Tapasya.

"Kan memang lagi ujian hidup," balas Jaeve santai. "Belajar matematika sama gue itu levelnya ujian hidup banget."

Nalen menggeleng sambil tertawa kecil. "Lo narsis juga ya, Eve. Siapa coba yang selfie di perpustakaan?"

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang