21. ■□■□■□■□■

490 49 5
                                        

Pagi itu, udara masih terasa segar ketika suara lembut Bunda membangunkan Dana dari tidurnya. Dengan mata setengah terbuka, Dana mengerang malas dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke bantal.

"Dana, bangun, Nak. Ada orang spesial yang datang," suara Bunda terdengar lembut, tetapi tetap tegas.

Dana mengerjap pelan, lalu mengerang lebih keras. "Siapa sih yang datang pagi-pagi gini? Ganggu orang bobok aja," gumamnya sambil berguling ke sisi lain tempat tidurnya, mencoba mengabaikan panggilan Bunda.

Namun, rasa penasaran akhirnya mengalahkan kantuknya. Dengan tubuh yang masih terasa pegal akibat kejadian kemarin, Dana akhirnya bangkit dari tempat tidur. Dengan malas, ia menyeret kakinya menuruni tangga, masih mengusap matanya yang belum sepenuhnya terbuka.

Langkahnya tiba-tiba terhenti di tengah tangga.

Matanya langsung membulat saat melihat siapa yang sedang duduk di ruang tengah bersama Ayahnya—Vijendra.

Pria itu tampak santai, mengenakan seragam sekolah yang sudah rapi, duduk di sofa dengan tawa renyahnya saat bercanda dengan Ayah Dana. Suasana pagi itu terasa begitu hangat, seakan tidak ada ketegangan atau masalah apa pun yang pernah terjadi di antara mereka.

Dana mendengus kesal. "Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada ketus, membuat Vijendra mengangkat alisnya sedikit.

Ayah Dana menoleh dan langsung menggelengkan kepala mendengar nada bicara putranya. "Dana, kamu kok ngomongnya gitu sama Vije? Nggak baik," tegurnya lembut. "Ya sudah, Ayah masuk dulu. Kalian ngobrol aja."

Ayah Dana pun berdiri, membawa cangkir kopinya ke dapur, meninggalkan mereka berdua di ruang tengah yang mendadak terasa sedikit canggung.

Dana melipat tangannya di depan dada, memperhatikan Vijendra yang masih duduk santai. Pria itu lalu menoleh padanya, kemudian tanpa berkata apa-apa, dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan meletakkannya di meja.

"Gue bawain nasi goreng buatan Bubu buat lo," kata Vijendra akhirnya.

Dana menatap nasi goreng itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Aroma nasi goreng khas buatan ibu Vijendra memenuhi ruangan, membuat perutnya yang belum diisi sejak pagi langsung berbunyi pelan. Ia menghela napas pelan sebelum duduk di sofa, mengambil sendok dan mulai menyuapinya tanpa banyak protes.

Vijendra tersenyum kecil melihatnya. "Gimana keadaan lo?" tanyanya, memerhatikan dengan seksama wajah Dana yang masih tampak ada bekas luka dan lebam.

Dana mengunyah dengan santai sebelum menjawab. "Baik-baik aja. Cuma butuh pijet aja biar enakan. Tiga hari lagi gue masuk sekolah," jawabnya dengan santai.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.

Tiba-tiba, Vijendra nyeletuk dengan nada ringan, "Gue mau nembak Karina."

Dana yang sedang menyuap nasi goreng langsung terdiam sesaat sebelum melanjutkan makannya seperti tidak ada yang terjadi. "Ngapain lo bilang ke gue? Terserah lo lah," ucapnya dengan nada datar, pura-pura tidak peduli.

Tapi Vijendra tidak mudah tertipu. Pria itu menatap Dana dengan tatapan serius. "Lo yakin?" tanyanya. "Karena kalau gue jadian sama Karina, kita bakal jauh kayak dulu lagi."

Dana menghentikan kunyahannya. Matanya langsung melotot ke arah Vijendra. "Kenapa harus menjauh, sih?" tanyanya dengan nada tidak terima.

Vijendra menunduk, jemarinya saling bertaut di atas lututnya. "Karena cuma itu cara gue bisa lupain perasaan gue ke lo," jawabnya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.

Sekali lagi, ruangan itu dipenuhi keheningan yang terasa menyesakkan.

Dana menggigit bibirnya, pikirannya kacau. Dia tahu Vijendra memang punya perasaan lebih padanya sejak dulu, tapi selama ini dia selalu menghindar. Selalu menganggap bahwa persahabatan mereka lebih penting dan dia tidak mau merusaknya. Tapi sekarang, mendengar sendiri dari mulut Vijendra bahwa pria itu mencoba melupakannya dengan menjalin hubungan dengan orang lain, rasanya ada yang mencubit hatinya.

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang