19. (ノ_-;)...

512 66 4
                                        

Jerico berdiri di depan gerbang sekolah dengan tangan disilangkan di dada, matanya tajam mengawasi setiap siswa yang melangkah masuk. Sesekali, dia menegur yang seragamnya berantakan atau dasinya miring. Tapi pikirannya sebenarnya tidak sepenuhnya ada di tugas ini—dia masih terpaku pada rumor yang baru saja dia dengar pagi ini.

CofA ngedar obat-obatan terlarang.

Gila. Itu tuduhan berat.

Jerico mengingat kejadian kemarin, bagaimana Nagen muncul dengan wajah babak belur. Saat itu dia terlalu panik untuk bertanya lebih jauh, tapi sekarang semuanya terasa masuk akal. Apakah Nagen dipukuli karena rumor ini? Atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?

Matanya menelusuri halaman sekolah, mencari sosok pacarnya yang biasanya paling mencolok di antara murid-murid lain. Tapi sejauh ini, belum ada tanda-tanda Nagen. Tidak ada juga panggilan dari pihak sekolah yang menyebut namanya.

Aneh. Kalau rumor ini benar, harusnya sekolah udah mulai bertindak, kan?

Jerico menghela napas, mencoba tetap fokus. Tapi perasaannya tidak enak. Sesuatu tentang ini semua terasa janggal.

Jerico mencoba tetap fokus pada tugasnya, tapi pikirannya masih penuh dengan Nagen. Setiap kali dia mengingat wajah babak belur pacarnya, dadanya terasa semakin sesak. Dia ingin bertanya, ingin memastikan semuanya baik-baik saja, tapi Nagen bahkan tidak membalas pesannya.

Sialnya, hari ini mereka tak sengaja berpapasan di lorong menuju halaman belakang sekolah. Sejenak, Jerico berpikir ini kesempatan yang tepat untuk mendekat, tapi sebelum dia bisa bergerak, dia menyadari satu hal—Nagen tidak pernah sendirian.

Seperti biasa, anak-anak CofA selalu mengelilinginya. Entah itu Jenderal, Mahen, atau Haidar, selalu ada seseorang yang berdiri di sisinya. Mereka tertawa, bercanda, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan di tengah-tengah itu, Nagen tampak seperti dirinya yang biasa—dingin, tenang, dan sedikit malas menanggapi orang-orang di sekitarnya.

Jerico menggenggam ponselnya, mengamati layar yang penuh dengan pesan-pesan yang belum dibalas.

"Kamu baik-baik aja?"
"Aku mau ketemu kamu."
"Kamu bisa jawab, gak?"

Tidak ada balasan. Bahkan centang pun tidak.

Sial. Apa Nagen benar-benar mengabaikannya?

Ketika akhirnya ada celah untuk mendekat, Jerico melihat sesuatu yang membuatnya semakin ragu. Nagen tidak sendirian—lagi. Kali ini, dia berjalan santai bersama Keil, berbincang seperti tidak ada yang lebih penting di dunia ini. Tidak ada tanda-tanda kalau dia sedang mencari Jerico atau sekadar peduli kalau pacarnya sudah lama menunggu momen ini.

Jerico merasakan dadanya menghangat dengan amarah yang aneh, bercampur kecewa. Dia tahu sejak awal kalau Nagen bukan tipe orang yang terbuka, bukan seseorang yang akan langsung lari kepadanya saat ada masalah. Tapi melihatnya memilih bersama Keil—dan bukan dirinya—membuat Jerico bertanya-tanya.

Apa Nagen benar-benar membutuhkannya?

Atau lebih buruk, apa dia bahkan menginginkannya?

Pikiran itu menghantamnya lebih keras dari yang dia kira. Dan mungkin, hanya mungkin, dia yang terlalu berharap banyak. Mungkin dia yang terlalu percaya kalau dia punya tempat di hati Nagen.

Jadi daripada terus menunggu sesuatu yang tidak pasti, Jerico mengambil keputusan.

Mungkin lebih baik dia menjauh untuk sementara.

***

Beberapa siswa mulai panik saat pengumuman razia mendadak menggema di seluruh koridor. Suasana kelas yang sebelumnya ramai berubah tegang. Beberapa siswa buru-buru membereskan meja mereka, memastikan tidak ada barang yang mencurigakan di dalam tas.

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang