Matahari belum sepenuhnya tinggi saat siswa-siswi mulai berdatangan ke sekolah, sebagian dengan wajah mengantuk, sebagian lagi dengan semangat yang masih setengah. Minggu ini menjadi salah satu pekan tersibuk bagi semua angkatan. Ujian kelulusan untuk kelas 12 tinggal menghitung hari, diikuti dengan ujian kenaikan kelas yang membuat kelas-kelas bawah ikut tegang. Dan seolah itu belum cukup, satu bulan ke depan adalah perhelatan besar—festival sekolah tahunan yang tahun ini akan jauh lebih meriah, karena kedatangan alumni hingga angkatan 10.
Sebagai ketua OSIS, Jeriko benar-benar berada di garis depan. Pagi ini ia berjalan cepat dari satu titik ke titik lain di halaman sekolah, mengecek kesiapan fasilitas ujian, mengecek siapa yang bertugas di bagian logistik, dekorasi, konsumsi, hingga teknis acara. Tapi langkahnya mulai berat. Bukan karena kelelahan fisik saja, tapi karena pemandangan yang mengecewakan: dari puluhan siswa yang seharusnya hadir membantu, hanya beberapa yang tampak bekerja.
Wajahnya mengeras. Ia mencatat nama-nama di daftar hadir, lalu dengan nada tinggi bertanya pada satu panitia, “Mana yang lain? Kok cuma segini?”
Tak ada jawaban pasti. Beberapa hanya mengangkat bahu. Jeriko menahan kesal, mencoba menekan emosinya sambil menggulir ponselnya, menelepon satu per satu penanggung jawab. Tapi makin lama, ekspresinya makin frustasi.
Di waktu yang bersamaan, dari arah gerbang belakang, Nagen baru saja lewat sambil menggendong tas. Pandangannya secara otomatis tertuju ke halaman tengah. Ia terdiam sejenak saat melihat sosok Jeriko di antara keramaian—dengan clipboard di tangan, keringat membasahi pelipis, dan mata yang menyapu lapangan dengan gelisah.
Nagen menarik napas pelan, sebelum akhirnya memutar arah menuju markas COFA, tempat anak-anak ekskul seni biasa berkumpul. Begitu sampai, ia langsung mengetuk meja, menarik perhatian semuanya.
“Eh, ini pada santai banget. Yuk, bantu yang lain bersih-bersih. Ga ada yang leha-leha, semua bagian kerja, sekarang,” katanya tegas.
Mungkin karena Nagen jarang terlihat sekeras itu, beberapa anak langsung bergerak tanpa banyak tanya. Dalam waktu singkat, anak-anak COFA mulai menyebar—ada yang membantu di ruang kelas, ada yang menata ulang bangku, bahkan ada yang diminta bantu angkat alat-alat berat ke gudang belakang.
Sementara itu, Jeriko yang tadinya sudah hampir pasrah, mulai melihat perubahan. Ia berjalan memutari area sekolah dan melihat lebih banyak siswa mulai muncul. Di antara mereka, ia melihat beberapa anak COFA sedang memanggul kursi, dan di tengah-tengahnya berdiri Nagen, memberi arahan dengan nada ringan tapi efektif.
Tanpa sadar, pandangan Jeriko dan Nagen bertemu dari kejauhan. Sekilas. Tak lebih dari tiga detik.
Namun dalam tatapan yang singkat itu, bibir Jeriko bergerak pelan, tanpa suara, tapi cukup jelas untuk dibaca oleh mantan pacarnya.
“Terima kasih.”
Nagen terdiam sejenak. Satu alisnya terangkat, senyum tipis berusaha dia tahan di sudut bibirnya. Ia tak menjawab, hanya memberi anggukan kecil yang nyaris tak terlihat.
Dan saat ia kembali menoleh ke arah anak-anak yang masih mengangkut peralatan, hatinya terasa sedikit ringan. Mungkin mereka tidak akan kembali seperti dulu, pikirnya. Tapi jika bisa saling bantu dalam diam, mungkin ini jauh lebih baik.
***
Langit sore mulai menguning, mengalirkan cahaya lembut ke atas atap sekolah yang lengang. Karina berdiri di ujung rooftop, angin menerbangkan rambutnya pelan. Tangannya menggenggam ponsel yang layarnya sudah berkali-kali dia pandangi—pesan-pesan yang tak pernah dibalas, kalimat yang ia susun dengan harapan bisa menyentuh hati seseorang yang kini terasa jauh, Bitna.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐨𝐟𝐀√
Ficção Adolescente{𝐉𝐚𝐤𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠, 𝐉𝐚𝐲𝐡𝐨𝐨𝐧, 𝐒𝐮𝐧𝐰𝐨𝐧} 𝐇𝐞𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠/𝐍𝐚𝐠𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐨𝐫 𝐬𝐮𝐛 𝐉𝐚𝐤𝐞/𝐉𝐞𝐫𝐢𝐜𝐨 : 𝐝𝐨𝐦 𝐉𝐚𝐲/𝐕𝐢𝐣𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧/𝐃𝐚𝐧𝐚𝐝𝐲𝐚𝐤𝐬𝐚 : 𝐬𝐮𝐛 𝐒𝐮𝐧𝐨𝐨/𝐍𝐚𝐥𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝...