18. ヽ('д';)/

625 63 5
                                        

Tidak ada malam yang lebih menggigil daripada malam ini, bukan karena angin malam yang menusuk, melainkan gugup yang merayap dalam hati Karina. Gadis itu berdiri di depan cermin kamarnya, perlahan memoleskan sedikit riasan pada wajahnya. Sentuhan ringan lip gloss di bibir dan blush tipis di pipi membuatnya tampak segar tanpa berlebihan. Namun, ia tetap merasa perlu menutupi sebagian wajahnya dengan kacamata besar yang selalu menjadi andalannya.

Setelah memastikan semuanya rapi, Karina mematut dress yang ia kenakan. Tidak mencolok, hanya sederhana dengan warna lembut yang menenangkan. Ia ingin tampil sopan, tanpa membuat kesan berlebihan. Dengan tarikan napas panjang, ia meninggalkan kamarnya, menuju malam yang sudah menunggunya.

Di tengah restoran mewah yang dipilih Tsabitna, Karina duduk dengan gugup. Ruangan itu terasa terlalu luas dan penuh dengan orang-orang yang tampak lebih percaya diri daripada dirinya. Namun, saat ia mengingat senyuman Tsabitna yang selalu hangat, ia merasa sedikit lebih nyaman.

Tsabitna muncul dari arah pintu masuk, mengenakan kemeja rapi dengan warna gelap yang memancarkan aura percaya diri. Rambut pendeknya tertata sedikit acak, tapi justru menambah pesonanya. Ketika mata mereka bertemu, Karina langsung menunduk, merasa pipinya menghangat.

Tsabitna menghampiri meja itu dengan langkah santai, menarik kursi di seberang Karina, lalu duduk. "Udah lama nunggu?" tanyanya, nada suaranya ringan seperti biasa.

Karina menggeleng sambil tersenyum kecil. "Baru aja. Gue yang kecepatan, kayaknya."

"Makasih udah dateng," ucap Tsabitna sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia memandang Karina sejenak, sebelum tersenyum lebih lebar. "Lo... beda malam ini."

Karina mengangkat alis, sedikit gugup. "Beda gimana?" Oh tidak, apakah dia akan ketahuan. Seharusnya Karina tidak memakai riasan apapun malam ini.

"Kayak lebih... berani," jawab Tsabitna, lalu terkekeh. "Gue nggak tahu, mungkin karena lo pake dress yang beda."

Karina meremas jemarinya sendiri di bawah meja, mencoba menahan rasa canggung yang menjalari tubuhnya. "Ini juga rasanya nggak biasa buat gue. Tapi ya, sekali-sekali, kan?"

Tsabitna mengangguk setuju, lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Sepanjang makan malam, mereka berbicara tentang banyak hal—tentang sekolah, tentang teman-teman mereka, bahkan tentang masa kecil Tsabitna yang penuh cerita lucu. Tentunya ada sebagian cerita yang Karina ubah, seperti tempat sekolahnya, tentang teman nya yang tidak banyak, dan bagaimana kegiatannya di sekolah.

Namun, di sela-sela obrolan itu, ada sesuatu yang tidak terucap. Sebuah rasa yang melayang-layang di udara di antara mereka, menunggu waktu yang tepat untuk dinyatakan.

Ketika akhirnya makanan mereka habis, Tsabitna menatap Karina dengan serius. "Rin, gue seneng banget lo mau dateng malam ini."

Karina hanya tersenyum, mencoba mengabaikan debaran di dadanya. "Gue juga seneng diajak. Tempat ini... bagus."

"Lo tau," lanjut Tsabitna, "gue nggak pernah ngajak siapa-siapa ke tempat kayak gini. Tapi buat lo, gue pikir... kenapa nggak?"

Kalimat itu membuat Karina tertegun. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebelum ia sempat mencari kata-kata, Tsabitna sudah berdiri, meraih tas kecilnya.

"Yuk, gue anter pulang," ucap Tsabitna sambil tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih hangat dari sebelumnya.

Karina mengangguk pelan, mengikuti langkah Tsabitna keluar dari restoran. Malam itu, ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega, bahagia, atau semakin bingung dengan apa yang mulai ia rasakan terhadap Tsabitna. Tapi satu hal yang pasti, malam itu terasa jauh lebih hangat daripada yang ia duga.

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang