22. 。_。

573 55 8
                                        

Tio, Bubu dari empat anak, duduk santai di ruang tengah, menonton acara gosip favoritnya di televisi. Di sampingnya, si kecil Nisca sibuk dengan es krimnya, sesekali menjilat dengan hati-hati agar tak tumpah. Pendingin ruangan berhembus lembut, memberikan kesejukan setelah seharian terpapar udara panas.

Suara deru motor terdengar dari luar, menandakan bahwa anak-anak remajanya telah pulang dari sekolah. Pintu terbuka dan masuklah Nagen, si sulung, dengan langkah tegap dan wajah sedikit lelah. Ia langsung menghampiri Tio dan mencium tangan ibunya.

"Mas pulang, Bubu," ucapnya sopan sebelum menghilang ke dalam kamarnya.

Tak lama, Vije datang menyusul. Dengan gerakan cepat dan penuh kelicikan, dia langsung menyambar es krim Nisca.

"Babang!" teriak Nisca dengan suara cempreng, wajahnya langsung berubah kesal.

Tio hanya melirik sekilas dengan tatapan peringatan. "Adeknya jangan diganggu, Babang," ujarnya santai, namun cukup tajam untuk membuat Vije merasa bersalah.

Terakhir, Nalen masuk ke rumah sambil membawa dua kantong plastik berisi sesuatu yang menggoda perut. Dengan senyum lebar, ia menyerahkan kantong itu kepada Tio.

"Satu buat Bubu, satu lagi buat Adek," katanya.

Tio mengerutkan dahi, membuka kantong itu, lalu tersenyum gemas melihat siomay favoritnya di dalamnya. Tanpa ragu, ia meremas pipi Nalen dengan lembut.

"Makasih ya, Kakak," ujarnya, sementara Nalen hanya nyengir bangga.

Di tengah kekacauan kecil yang sudah menjadi bagian dari keseharian mereka, Vije masih berlari-lari menghindari Nisca yang kini mulai tantrum karena es krimnya direbut. Bocah kecil itu mengejar dengan tangan terkepal, siap memberikan ‘hukuman’ kepada kakaknya.

Sementara itu, Nalen sudah merebahkan dirinya di sofa, dengan santai menjadikan paha ibunya sebagai bantal. Tio mengusap rambut putranya dengan lembut. "Nanti kamu les nggak, Kak?" tanyanya pelan.

"Enggak, tapi nanti mau jalan sama Jaeve. Biasa, mau nonton," jawab Nalen, matanya masih setengah terpejam.

Tio mengangguk paham.

"Oh iya, nanti Bubu titip sesuatu, ya, kasih ke Miranda."

"Siap, Bubu," sahut Nalen singkat, masih dalam posisi nyaman di pangkuan ibunya.

Rumah yang penuh dengan suara tawa dan obrolan itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Tio. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang terasa sedikit janggal sore ini. Sebuah perasaan aneh yang membuatnya berpikir sejenak.

Namun, sebelum ia bisa mencari tahu apa yang membuatnya gelisah, suara deru mobil terdengar dari luar. Vije, yang tadinya masih sibuk berlari dari Nisca, langsung berhenti. Sialnya, Nisca yang sedang mengejarnya tidak sempat mengerem langkahnya dan malah menabrak pantat kakaknya.

"Daddy pulang!" teriak Vije seketika, seperti anak kecil yang baru saja melihat superhero favoritnya datang. Ia langsung berlari ke pintu, membuka lebar-lebar untuk menyambut kedatangan sang ayah.

Pak Jamal, masih dengan jas kerja yang belum dilepas, melangkah masuk ke dalam rumah dengan senyum lelah. Begitu melihat ayahnya, Nisca langsung berlari dan melompat ke arah Pak Jamal dengan antusias.

"Yeay, Daddy pulang! Oleh-oleh Nisca mana?" tanyanya dengan mata berbinar.

Pak Jamal tertawa kecil, membuka paper bag yang dibawanya, lalu mengeluarkan boneka beruang kecil berwarna coklat. "Ini untuk Adek," katanya, menyerahkan boneka itu kepada Nisca, yang langsung memeluknya erat.

Setelahnya, Pak Jamal mengeluarkan sebuah kotak kecil dan melemparkannya ke arah Nalen, yang dengan refleks langsung menangkapnya.

"Kalimba buat Kakak."

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang