Kali ini pelajaran terakhir mereka kedapatan jamkos, dan Nagen yang bosan mulai terpikirkan sesuatu. Saat ini Nagen, Jenderal, Mahen, dan Haidar bersiap untuk kabur—tepatnya dengan memanjat pagar belakang yang sudah lama jadi titik aman mereka.
"Kita beneran mau bolos?" tanya Haidar, meski nadanya lebih terdengar seperti antusias daripada ragu. "Wah, udah lama banget kita nggak bolos. Nonton yuk?"
"Makan dulu nggak sih? Laper, ay." Mahen mengusap perutnya, wajahnya terlihat penuh harap.
"Sate sama rawon, kuy ke tempat biasa." Jenderal langsung menimpali, sudah membayangkan betapa nikmatnya makanan favorit mereka.
Sementara yang lain sibuk memilih tujuan, Nagen justru tengah berkutat dengan tasnya. Dia melempar tas itu ke balik dinding sekolah, di mana mereka sudah lebih dulu menyembunyikan motor masing-masing. Ini bukan kali pertama mereka melakukan ini, dan semuanya berjalan sesuai rencana—sampai suara familiar terdengar di belakang mereka.
"Kalian mau ke mana?"
Mereka semua menoleh cepat, dan Nagen seketika membeku. Jeriko berdiri di depan mereka dengan tangan menyilang, ekspresinya datar tapi tajam.
Untuk sesaat, Nagen merasa ada sedikit rasa senang mendengar suara itu, mengingat apa yang tenga terjadi diantara kedunaya. Namun, begitu dia benar-benar menatap wajah Jeriko, kegelisahan dan kebencian lama kembali muncul. Tidak bisakah mereka kembali baik-baik saja?
Tapi nyatanya, sekarang bukan saatnya memikirkan itu.
"Nggak usah sok peduli, lo." Nagen mendesis, mencoba berjalan melewatinya. Namun, Jeriko langsung menghalangi mereka, berdiri tegap tanpa gentar.
"Gue nggak bisa biarin kalian bolos."
Jenderal menghela napas panjang, sementara Mahen dan Haidar saling pandang dengan canggung.
"Kalian tau kan, kalau kalian tetep nekat bolos, kalian bakal kena hukuman? Absen kalian udah tipis banget. Kalian kalo di-drop out mau jadi apa?" Jeriko melanjutkan dengan nada tenang, tapi tegas.
Nagen mengepalkan tangannya, merasa darahnya mendidih. Siapa Jeriko sampai bisa mengatur hidupnya? Kenapa dia masih peduli? Tanpa pikir panjang, Nagen langsung mengayunkan tinjunya—dan mengenai wajah Jeriko dengan telak.
Bugh!
Jeriko jatuh ke tanah dengan suara keras, tubuhnya terjerembab di rerumputan.
Untuk beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Jenderal menatap Nagen dengan mata membelalak, sementara Mahen dan Haidar menahan napas. Mereka tidak menduga Nagen akan langsung main tangan. Jeriko tak bergerak. Entah pingsan, atau mungkin hanya sedang memulihkan diri dari pukulan barusan.
Nagen menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya dengan tatapan penuh keyakinan.
"Ayo cabut."
Tanpa menunggu, dia melompati pagar, diikuti oleh yang lain. Mereka mengabaikan Jeriko yang tergeletak di sana—seperti tak ada yang terjadi. Seperti semuanya baik-baik saja. Padahal, jelas sekali bahwa ini adalah awal dari kehancuran yang lebih besar.
***
Vije datang ke rumah Dana dengan santai, mengenakan hoodie abu-abu favoritnya dan membawa tas selempang yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dana yang sedang duduk di ruang tamu, awalnya mengira Vije datang untuk bertemu dengannya. Matanya berbinar, senyum kecil hampir terbentuk di sudut bibirnya—sampai akhirnya Vije membuka mulut.
“Om ada?” tanyanya ringan, tanpa basa-basi.
Senyum Dana langsung luntur. Dia mendengus kecil, menatap Vije dengan kesal. “Jadi lo ke sini buat main catur sama Ayah gue?”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐨𝐟𝐀√
Teen Fiction{𝐉𝐚𝐤𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠, 𝐉𝐚𝐲𝐡𝐨𝐨𝐧, 𝐒𝐮𝐧𝐰𝐨𝐧} 𝐇𝐞𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠/𝐍𝐚𝐠𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐨𝐫 𝐬𝐮𝐛 𝐉𝐚𝐤𝐞/𝐉𝐞𝐫𝐢𝐜𝐨 : 𝐝𝐨𝐦 𝐉𝐚𝐲/𝐕𝐢𝐣𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧/𝐃𝐚𝐧𝐚𝐝𝐲𝐚𝐤𝐬𝐚 : 𝐬𝐮𝐛 𝐒𝐮𝐧𝐨𝐨/𝐍𝐚𝐥𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝...
