13. (。♋‸♋。)

711 65 9
                                        

Langit sudah semakin sore, mereka asik bicara sampai ga ngerti waktu. Mana Nisca udah merungut aja dari tadi, sedangkan Bitna masih asik haha-hihi sambil genggam tangan Rina. Nyaman bener keliatan nya, sampek ga ada jarak lagi diantara keduanya.

Karina melihat tangan yang digenggam Bitna, dia ga nyangka bakal sedekat ini sama cewek yang dia kerjain. Sedikit ada rasa bersalah, di tambah lagi dia kini harus pura-pura di dekatnya. Tapi kalau di pikir Karina yang saat ini bersama Bitna adalah sejatinya Karina.

Karina yang tidak harus susah payah menggunakan make up tebal untuk menutupi semua kekurangannya, Karina yang tidak harus memikirkan penampilannya sebab Bitna tidak harus mengomentari apalagi memperdulikan hal itu. Langkah mereka mengarah ke sebuah butik mewah yang berdiri megah di sudut jalan utama kota. Karina terlihat ragu, langkahnya berat, sementara Bitna tersenyum lebar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.

“Nana, ini tempat mahal banget. Kita cari tempat lain aja yuk,” Karina berbisik, mencoba menghentikan langkah Bitna.

“Ey ini tuh salah satu kebanggan punya The Aabhavannan, gue cukup kenal sama beberapa pegawai nya. Jadi tenang aja.” Bitna menjawab tegas. Dia mendorong pintu kaca besar butik itu, membuat lonceng kecil di atasnya berdenting merdu. Seorang pegawai langsung menyambut mereka dengan ramah.

Tapi bukan masalah Bitna kenal dengan pegawainya atau apapun, tempat ini terkenal mewah. Karina sering berandai mausk ke tempat ini, siapa sangka Bitna yang ajak dia kesini.

“Tapi- gue nggak perlu baju baru,” Karina mencoba berargumen lagi.

Bitna hanya memutar mata. “Lo tau, gue masih merasa bersalah sampai sekarang karena dress lo yang rusak. Jadi lo harus dapetin seenggaknya 2 dress cantik disini.”

Karina hanya bisa menghela napas, tak mampu melawan keinginan keras Bitna. Ia melirik Nisca, yang berdiri di belakang mereka dengan wajah kusut. Bocah itu memeluk bonekanya erat-erat, jelas sekali sedang tidak dalam mood yang baik.

Setelah beberapa menit memilih baju, Bitna menunjuk sebuah dress berwarna biru pastel yang elegan. “Ini cocok buat lo. Coba, deh.”

Karina menggeleng. “Na, ini mahal banget. Gue nggak butuh-”

Bitna menempelkan jari ke bibirnya. “Ssst! Diam dan dengar gue sekali aja. Ayo, coba ini. Nanti, gue suruh pegawainya dandanin lo biar tambah kece.”

“Dandan?” Karina tersentak. Wajahnya langsung memucat. “Nggak, nggak perlu!”

“Why? Lo bakal cantik banget, Rin. Gue janji,” Bitna mendesak, matanya berbinar.

Karina gelagapan mencari alasan. “Gu-gue nggak suka make-up, itu aja.” Padahal, alasan sebenarnya jauh lebih rumit. Karina takut kepura-puraan nya terbongkar langsung di depan Bitna.

Sementara itu, Nisca mulai rewel. “Kak Nana, Nisca ngantuk. Kapan kita pulang? Nisca nggak jadi main sama Niki gara-gara ikut Kakak.” Suaranya cemberut penuh protes.

“Sebentar lagi, Nisca,” jawab Bitna sambil berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka. “Kamu kan sayang sama Kak Nana, ya? Jadi, sabar dikit aja.”

Tapi Nisca hanya menggeleng keras, bahkan hampir menangis. Karina melihat kesempatan ini untuk mengakhiri siksaan di butik ini. “Maybe kita memang harus pulang, Na. Nisca kelihatannya beneran capek,” ujar Karina, mencoba bersikap bijak.

“Plis dong, Nisca. Sebentar aja,” Bitna memohon dengan suara manis sambil membungkuk sedikit ke arah Nisca yang duduk sambil melipat tangan, memasang tampang pura-pura cuek. “Kalau kamu nurut sama Kakak, nanti Kakak beliin martabak.”

Mata Nisca langsung berbinar, tapi dia tetap sok jual mahal. “Yang ada kejunya?”

“Udah pasti!” Bitna menepuk dadanya dengan percaya diri. “Jadi, mau nunggu, kan?”

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang