Suara deru mesin motor menyatu dengan alunan lagu Ash dari earphone yang terpasang di telinga kanan Nalen dan telinga kiri Jaeve. Angin malam berhembus kencang, membuat rambut Nalen sedikit beterbangan di bawah helmnya. Jalanan jembatan yang sepi kendaraan menambah kesan seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Jaeve yang awalnya menikmati perjalanan mulai merasa ada yang aneh ketika Nalen mempercepat laju Agusta-nya. Motor sport itu melaju lebih agresif dari sebelumnya, membuat Jaeve refleks memeluk pinggang Nalen semakin erat.
"Pegangan yang erat!" suara Nalen terdengar jelas, nyaris menenggelamkan melodi lagu yang masih mengalun di telinga mereka.
Jaeve mulai merasa was-was.
Dan sebelum ia sempat memproses apa yang akan terjadi, Nalen menarik gas lebih dalam, membuat bagian depan Agusta itu naik ke udara. Motor itu terangkat dalam aksi wheelie yang sempurna, berlari di atas satu roda dengan presisi yang mengerikan.
Jaeve menjerit kecil, tangannya mencengkeram jaket Nalen seolah nyawanya bergantung di sana.
Tapi bagi Nalen, ini adalah puncak dari malam ini. Dengan kecepatan yang terukur, ia mengendalikan Agusta-nya dengan mulus, menjaga keseimbangan meski hanya bertumpu pada roda belakang. Jalanan kosong memberinya ruang untuk beratraksi tanpa gangguan, dan saat ia merasa puas, ia mulai menurunkan kembali roda depannya.
Namun, ia tak berhenti di situ.
Begitu roda depan menyentuh aspal, Nalen menarik tuas rem belakang dengan terampil, membuat bodi belakang Agusta terangkat sesaat sebelum ia mengakhirinya dengan teknik stoppie yang sempurna—ban depan mencengkeram aspal, sementara roda belakang melayang sesaat sebelum kembali ke tanah dengan bunyi decitan yang menggetarkan jalanan sepi.
Dan di momen itu, sebelum Jaeve bisa menarik napas lega, Nalen berteriak.
"GUE SUKA LO, JAEVE!"
Suara itu membelah malam, menggema di sepanjang jembatan, menyatu dengan suara mesin motor yang kini sudah diam.
Jaeve masih menutup matanya, pelukannya masih erat di pinggang Nalen, dan tubuhnya masih bergetar karena atraksi gila barusan. Ia tak peduli dengan pengakuan Nalen—belum, setidaknya.
Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah bagaimana ia bisa masih hidup setelah aksi nekat tadi.
Perlahan, Nalen menyentuh tangan Jaeve, suaranya sedikit geli. "Motornya udah berhenti, Eve."
Jaeve membuka matanya perlahan, dan tanpa pikir panjang, "PLAK!" sebuah geplakan keras mendarat di kepala Nalen.
"LO APA-APAAN SIH?! KALO MAU SEHIDUP SEMATI SAMA GUE GA GINI CARANYA!" bentaknya dengan napas memburu.
Bukannya merasa bersalah, Nalen malah tertawa keras, kepalanya menengadah, helmnya menyentuh helm Jaeve dalam tawa yang tak tertahankan.
Jaeve? Dia masih berusaha memproses semuanya. Perasaannya yang campur aduk antara kesal, takut, dan… entah kenapa, bahagia.
***
Langkah Jeriko terdengar berat saat ia memasuki rumah, kakinya nyaris terseret karena kelelahan setelah menjaga toserba selama 24 jam penuh. Matanya sedikit merah, kantung matanya semakin terlihat jelas, dan kepalanya terasa berat. Namun, sebelum ke kamarnya, ia memilih untuk mampir ke ruang kerja ayahnya.
Di sana, pria paruh baya itu masih sibuk dengan layar laptopnya, namun segera menoleh saat menyadari kehadiran putranya.
"Udah selesai jagain toserba?" tanya sang ayah, meski jawabannya sudah jelas.
Jeriko mengangguk lelah. "Iya, udah. Ayah, jeriko mau berhenti jaga toserba"
Sang ayah menutup laptopnya dan menatap Jeriko dengan tatapan penuh perhitungan. "Memang nggak butuh uang tambahan lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐨𝐟𝐀√
Fiksi Remaja{𝐉𝐚𝐤𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠, 𝐉𝐚𝐲𝐡𝐨𝐨𝐧, 𝐒𝐮𝐧𝐰𝐨𝐧} 𝐇𝐞𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠/𝐍𝐚𝐠𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐨𝐫 𝐬𝐮𝐛 𝐉𝐚𝐤𝐞/𝐉𝐞𝐫𝐢𝐜𝐨 : 𝐝𝐨𝐦 𝐉𝐚𝐲/𝐕𝐢𝐣𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧/𝐃𝐚𝐧𝐚𝐝𝐲𝐚𝐤𝐬𝐚 : 𝐬𝐮𝐛 𝐒𝐮𝐧𝐨𝐨/𝐍𝐚𝐥𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝...
