29. ('•̥̥̥д•̥̥̥'̀ू๑)‧º·˚

539 53 5
                                        

Pagi itu, Jaeve terbangun dengan sisa-sisa mimpi indah yang masih menggelayuti benaknya. Dengan langkah malas, ia menuruni tangga, matanya masih setengah terpejam. Ia meraih gelas di dapur dan mengisinya dengan air dingin, mencoba mengusir rasa kantuk yang begitu berat menempel di tubuhnya.

Samar-samar, ia mendengar suara gonggongan kecil dari ruang TV, bercampur dengan suara ayah, bunda, dan… Jerico? Kepalanya masih berat untuk memproses apa pun, tapi dalam pikirannya ia mengingat bahwa hari ini, di minggu pagi yang malas ini, ia harus keluar untuk mengembalikan semua buku yang dipinjamnya dari perpustakaan kota.

Saat berjalan keluar dari dapur, kakinya tanpa sengaja menendang sesuatu—sebuah kotak kecil yang bergeser dengan bunyi "duk." Di sebelah kotak itu, ada sebuah kandang mungil, mangkuk kecil, dan aroma makanan yang agak aneh menguar dari situ. Untung saja Jaeve tidak terlalu penasaran untuk mencicipinya, sebab sebelum niat itu muncul lebih jauh, seekor makhluk berbulu putih muncul dari entah mana dan langsung mendusel kakinya sebelum berlari kecil ke mangkuk makanan.

Jaeve mengernyit heran, setengah bingung setengah mengantuk.

"Eve, itu puppy-nya, ajak jalan-jalan gih," terdengar suara ayah dari ruang TV.

Masih dalam keadaan setengah sadar, Jaeve menoleh ke arah suara itu. "Emang kita punya puppy?" tanyanya, alis terangkat.

Ketiga orang di ruang TV—ayah, bunda, dan Jerico—hanya menatapnya dengan ekspresi geli. Mereka saling pandang sejenak, seolah sedang berbicara tanpa suara.

Lalu, perlahan, kesadaran itu menghantam Jaeve.

Matanya terbelalak. Ia berjongkok cepat, mengangkat tubuh kecil berambut putih itu. Puppy itu menggoyangkan ekornya dengan semangat, mengeluarkan gonggongan kecil penuh semangat seolah berkata, "Akhirnya kamu sadar juga!"

"Ehhhhhh?! Ini puppy siapa?!" seru Jaeve, hampir teriak saking terkejut dan senangnya.

Bunda, yang tengah mengelus perut besarnya, tersenyum lembut. "Punya Jaeve, lah. Coba, kasih nama buat puppy-nya," ucapnya.

Tanpa pikir panjang, Jaeve langsung mendekap puppy itu erat-erat ke dadanya. Ia berjalan menuju sofa, menjatuhkan tubuhnya ke sana sambil membiarkan puppy itu meringkuk nyaman di atas dadanya, mendengkur halus.

"Makasih, Ayah... Makasih, Bunda..." katanya dengan suara yang mulai bergetar karena bahagia.

Kedua orang tuanya tersenyum, tapi Ayah menambahkan dengan nada misterius, "Bukan kami yang kasih, Sayang."

Jaeve mengerutkan kening. "Lah, terus siapa?" tanyanya polos. "Kakak?" lanjutnya, menatap Jerico penuh harap.

Jerico hanya terkekeh geli, melihat ekspresi kebingungan sekaligus bahagia adiknya. "Coba tanya Nalen," katanya sambil menunjuk ke arah ponselnya yang terbuka, tampak chat dengan Nalen di layar.

Mata Jaeve langsung berbinar-binar. "NALEN?!" suaranya naik satu oktaf. "Nalen yang kasih? Kapan? Kok Jaeve gak dibangunin kalau Nalen ke rumah?!"

Bunda mencolek hidungnya dengan manja. "Udah, bahkan Nalen sendiri yang bangunin. Tapi kamu kebo, malah lanjut tidur lagi. Jadinya, Nalen pulang deh."

Jaeve menjerit dalam hati, membayangkan dirinya yang pasti terlihat sangat jelek dengan wajah bantal saat Nalen datang. Tapi rasa malunya itu cepat terkalahkan oleh kebahagiaan yang membuncah. Ia memeluk puppy kecil itu lebih erat lagi, mendengar detak jantung kecil yang menenangkan di dadanya.

Hari ini, baginya, adalah hari paling bahagia.

Sebuah awal baru—dengan puppy mungil dan rasa hangat di hatinya. Dan entah kenapa, dalam benaknya, nama untuk puppy ini sudah mengalir begitu saja.

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang