Sudah lama juga Nagen tidak merasakan malam yang berdenyut cepat seperti ini. Sejak jadi anak kelas 12 dan diambang kelulusan, hidupnya terasa lebih stabil—kalem, kalau kata orang rumah. Tapi malam ini, udara kembali berbau bensin dan debu, dan suara deru mesin motor di lapangan kosong di pinggiran kota membuat jantungnya kembali berdebar dengan rasa yang ia rindukan.
“Lumayan, tiga kali putaran, lima juta,” ucap Jenderal sambil membenarkan jaket kulitnya. “Lo tinggal menang, Gen.”
Nagen mengangguk, berdiri tenang di tengah lampu-lampu sorot yang sengaja diarahkan ke lintasan dadakan itu. Malam ini langit cerah, dan bulan menggantung sempurna, seakan jadi penonton diam. Haidar dan Mahen sibuk memeriksa motor yang akan dipakai Nagen. Knalpotnya berdesis kecil, suara mesin sudah dipanaskan.
“Siapa lawannya?” tanya Nagen, memasang sarung tangannya.
“Belum tahu,” jawab Mahen. “Tapi kabarnya sih... musuh bebuyutan Cofa.”
Nagen tersenyum miring. “Musuh tuh banyak, gue sampe lupa mukanya.”
Baru aja mereka tertawa kecil, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari arah belakang. Edgar datang dengan wajah panik, napasnya ngos-ngosan. “Bro! Ada tambahan syarat!”
“Syarat apaan?” Haidar mengernyit.
Edgar menarik napas dalam-dalam. “Kalau Nagen kalah, dia harus nurutin permintaan lawannya. Apa pun. Ga bisa nolak.”
Seketika suasana berubah. Mahen melotot. “Apa pun?!”
Edgar mengangguk. “Lo yakin mau ikut?”
Dari dalam mobil yang diparkir beberapa meter dari kerumunan, Nalen dan Vije yang juga dengar kabar itu malah ngakak bareng.
“Hahaha, mampus dah si mas,” ujar Vije sambil menyender ke jendela, wajahnya diterangi lampu dashboard.
“Dia mah seneng bae ditantangin,” sahut Nalen sambil nyeruput boba milk tea-nya. “Mas mah kalo dikatain ‘gak berani’ langsung tancap gas.”
Sementara itu, Nagen masih diam. Matanya menatap lintasan lurus dan panjang, pikirannya mulai dipenuhi kemungkinan terburuk. Tapi anehnya, detak jantungnya malah semakin stabil. Dia justru menikmati tekanan ini.
“Gue belum tahu siapa lawan gue. Bisa siapa aja. Tapi yang pasti, mereka gak tahu siapa yang mereka tantang,” gumamnya dalam hati.
Dia menoleh ke arah Jenderal dan berkata mantap, “Gue ikut. Mau lima juta, mau taruhan nyawa, terserah. Sebelum ujian kelulusan, gue mau senang-senang dulu.”
Jenderal tertawa puas, menepuk bahu Nagen. “Ketua Cofa nih bos, senggol dong.”
Langit malam makin kelam. Motor-motor berbaris di pinggir lintasan, dan suara speaker mulai memanggil peserta pertama untuk bersiap. Semua sorot mata kini tertuju ke Nagen, yang berjalan ke motornya dengan langkah pasti. Helm sudah terpasang. Jaket sudah dikancing rapat.
Dan di matanya, hanya ada satu tujuan—menang. Bukan soal uang, bukan soal taruhan. Ini tentang membuktikan satu hal:
Dia masih Nagen yang dulu.
Sorak-sorai semua orang meledak saat suara mesin meraung dari ujung lintasan. Asap tipis menyelimuti aspal, menciptakan bayangan gemetar di bawah lampu sorot yang berpendar kekuningan.
Seseorang melangkah dari kegelapan, langkahnya berat namun pasti. Tubuhnya terlindungi sempurna oleh jaket balap hitam dan helm full-face bergaris merah menyala. Ia tak berkata sepatah kata pun, hanya menatap lurus ke arah lintasan. Begitu ia melangkah maju, kerumunan spontan bersorak.
"SIAPA TUH?!"
“Wah gila, ini bukan orang sembarangan nih!”
“Style-nya rapi banget, pasti bukan pembalap biasa nih!”
Nagen, yang sudah bersiap di garis start, melirik ke arah lawannya. Entah kenapa, tubuhnya seolah bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Ada sesuatu yang familiar dari cara orang itu berdiri, dari aura diamnya yang justru mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐨𝐟𝐀√
Подростковая литература{𝐉𝐚𝐤𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠, 𝐉𝐚𝐲𝐡𝐨𝐨𝐧, 𝐒𝐮𝐧𝐰𝐨𝐧} 𝐇𝐞𝐞𝐬𝐞𝐮𝐧𝐠/𝐍𝐚𝐠𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐨𝐫 𝐬𝐮𝐛 𝐉𝐚𝐤𝐞/𝐉𝐞𝐫𝐢𝐜𝐨 : 𝐝𝐨𝐦 𝐉𝐚𝐲/𝐕𝐢𝐣𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝𝐨𝐦 𝐒𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧/𝐃𝐚𝐧𝐚𝐝𝐲𝐚𝐤𝐬𝐚 : 𝐬𝐮𝐛 𝐒𝐮𝐧𝐨𝐨/𝐍𝐚𝐥𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚 : 𝐝...
