14. ◎

652 73 15
                                        

Malam sudah terlalu larut. Jam di sudut layar ponselnya menunjukkan pukul 01.23, tapi Nagen masih ga berhenti natap layar itu. Tubuhnya terbaring di atas tempat tidur, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Tatapannya terpaku pada satu hal: room chat dengan Jerico.

Ada hal yang mengusik. Sebuah pesan dihapus. Tadi ada pesan dari Jerico, tapi sebelum sempat dibaca, tulisan itu menghilang, digantikan oleh notifikasi kecil: "Pesan ini telah dihapus."

Nagen menggigit bibirnya gusar. Rasanya ada yang aneh, tapi dia ga tau harus berbuat apa. Apa yang sebenarnya mau dikatakan Jerico? Kenapa dihapus? Pikiran itu berulang-ulang muncul di kepalanya seperti suara gema yang tak kunjung reda. Asekk gak tuh, lagian ngomong mah ngomong aja- eh ngetik deng, kenapa pake di hapus segala. Bikin stress tau ga mikirannya, baru kali ini nih Nagen segalau ini. Monyed.

Namun, ada hal lain yang menghantui pikirannya. Hari ini, dia sadar bahwa sikapnya sangat dingin pada Jerico. Ga bermaksud aslinya, ya gimana ya lagian dia kepergok Haidar pas mereka- itu.. nganu.. apa sih yang di gudang itu loh, jadi ga mood dianya. Padahal, Jerico tadi terlihat antusias banget di hari pertama mereka pacaran. Nagen ngerasa bersalah, tapi entah kenapa sulit baginya untuk langsung mengatakan maaf.

"Gue salah," gumam Nagen pelan, tangannya masih menggenggam ponsel. "Tapi kenapa dia hapus pesan sih? Apa dia marah?"

Ketika pikirannya terus melayang-layang, jari-jarinya bergerak sendiri. Ia membuka daftar kontak, mencari nama Jerico. Dalam hitungan detik, layar ponsel sudah menunjukkan tombol hijau bertuliskan Call.

"Gue harus tahu," katanya lagi, kali ini lebih keras.

Nagen menekan tombol itu. Bunyi dering terdengar. Satu kali, dua kali, hingga akhirnya tersambung.

"Halo..." suara di seberang terdengar berat, serak, dan jelas sekali penuh kantuk. Jerico.

"Jeri?" suara Nagen terdengar pelan, nyaris berbisik.

"Iya, sayang. Kenapa kok nelpon?" jawab Jerico dengan nada lelah.

Nagen langsung berdecak, kenapa harus pake sayang sih. "Lo tidur ya?"

"Enggak, lagi jaga toko nih. Kenapa?" Jerico bertanya, meski ia tidak terdengar terganggu. Hanya lelah.

Nagen menghela napas panjang. "Gue..." Ia berhenti sejenak. Ada keberanian yang sedang ia kumpulkan. "Gue liat tadi lo kirim pesan terus di hapus. Kenapa?"

Hening di seberang. Jerico sepertinya sedang mencoba mengingat. "Oh, itu," akhirnya Jerico bersuara. "Nggak penting kok."

"Tapi kenapa dihapus?" desak Nagen. "Gue jadi kepikiran."

"Seriusan, sayang. Nggak penting. Gue cuma nulis sesuatu terus ngerasa konyol aja. Nggak mau lo baca." Suara Jerico terdengar santai, meski masih bercampur kantuk.

"Apa sih?" tanya Nagen, harus banget dia tau. Nagen ga mau mati penasaran.

"Udah, nggak usah dipikirin. Kenapa lo telepon tengah malam begini? Lo nggak tidur?"

Ah Nagen baru ngeh kalo nada bisara Jerico berubah. "Udah dibilang gue kepikiran juga," jawab Nagen akhirnya. Kali ini nadanya lebih lirih. "Gue ngerasa bersalah."

"Hah? Ngerasa bersalah kenapa?"

"Hari ini gue cuek ke lo," ungkap Nagen. "Gue kayak nggak peduli sama lo gitu.”

Jerico tertawa kecil, suaranya pelan. "Sayang, lo serius mikirin itu sampe nggak bisa tidur?"

"Iyalah! Gue ngerasa jahat banget."

"Lo nggak jahat. Gue ngerti lo ga bisa dengan gamblang ngungkapin hubungan kita ke CofA, gue paham sikap lo yang ga mau terlihat mencurigakan di depan teman-teman lo," jawab Jerico. "Tapi kalau lo ngerasa bersalah, ya gue maafin. Nggak perlu dipikirin lagi, oke?"

𝐂𝐨𝐟𝐀√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang