증명해!

294 47 14
                                    

Sejak insiden kemarin, udara di antara Hyunjin dan Felice terasa begitu berat. Keduanya seperti dua magnet yang bertolak belakang, saling menghindari tatapan. Biasanya, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol atau bahkan bertengkar dengan seru. Kini, setiap pertemuan terasa seperti berjalan di atas telur. Keduanya sama-sama bingung dengan perasaan masing-masing, tak tahu harus memulai dari mana.

Sejak kejadian kemarin juga, Bangchan berubah drastis. Kehangatan yang biasanya ia pancarkan kini sirna, digantikan oleh aura dingin yang menyelimuti dirinya. Ia seperti membangun tembok tebal di sekelilingnya, menolak segala bentuk interaksi.

"Sampai kapan mereka akan kekanak-kanakan seperti ini?" ujar Changbin kesal. Jeongin menghela napas lesu, menyandarkan kepalanya di pundak Changbin, "Entahlah. Mereka sangat sulit dibujuk."

"Ck! Sudahlah! Biarkan dulu mereka seperti itu," hardik Minho.

Dengan kesal, Minho mengacak rambutnya. Ia tidak menyangka masalah sepele bisa membuat suasana rumah menjadi tegang seperti ini. Ia, Changbin, dan Jeongin memutuskan untuk tidak ikut campur dalam masalah pribadi ketiga saudaranya. Mereka berharap, dengan memberikan ruang, Bangchan, Hyunjin, dan Felice bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri.

°°°°°°°°°°°

Felice turun dari tangga dengan langkah gontai, matanya sembab. Ia meraih sepotong roti di meja makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dengan gerakan mekanis, ia mengunyah roti itu sambil menatap kosong ke luar jendela. "Aku berangkat kuliah sekarang. Tidak perlu diantar. Aku ingin naik bus hari ini," ujarnya datar, lalu berlalu menuju pintu. Hyunjin dan Jeongin yang sedang sarapan hanya bisa terdiam menyaksikan kepergian Felice.

Hyunjin berdiri hendak mengejar Felice, namun Jeongin menahannya. "Suasana hati Felice sedang tidak baik, kita biarkan dulu, Kak Hyun," ujar Jeongin lembut.

Hyunjin menghela napas panjang. "Lalu aku harus bagaimana?" lirihnya.

Jeongin tersenyum tipis. "Felice sudah cukup dewasa untuk mengolah emosinya. Saat dia sudah pulang kuliah nanti, cobalah untuk bicara dengannya lagi."

"Tetap awasi dia, jangan sampai terjadi apa-apa padanya. Aku berangkat dulu," ucap Hyunjin final.

°°°°°°°°°°

Felice melangkah cepat, matanya menerawang kosong. Pikirannya berkecamuk, memikirkan kejadian yang tidak bisa ia lupakan begitu saja. Setiap langkah terasa berat, seakan membawa beban dunia. Tiba-tiba, sebuah benturan kecil menyadarkannya.

Kepala Felice menabrak telapak tangan seseorang yang melindunginya, jika tidak maka Felice bisa dipastikan menabrak dinding mading. Felice terkejut dan menoleh kearah si pemilik tangan.

"Lucas?"

Pria itu tersenyum, "Lain kali hati-hati. Kau tidak mau membuat sebuah donat di kepalamu itu, kan?"

Felice mendengus kesal, "Terima kasih," ujarnya singkat dan berlalu begitu saja.

Lucas mengikuti Felice dari belakang, matanya tak lepas dari punggung gadis itu. Sesampainya di kantin, Felice langsung menuju ke meja kosong di sudut ruangan, seolah ingin menghindari keramaian. Lucas memilih meja di hadapannya, senyum merekah di wajahnya.

"Hai lagi, Felice!" sapa Lucas dengan semangat. Felice mendengus kesal, "Jangan ganggu aku, Lucas. Moodku sedang buruk." Lucas tertawa kecil, "Aku tahu. Karena itu aku di sini." Nada suaranya terdengar sedikit menjengkelkan bagi Felice, namun ia membiarkannya.

Felice mengunyah makanannya dengan perlahan, berusaha mengabaikan kehadiran Lucas. "Kau kenapa?" tanya Lucas dengan nada khawatir. Felice menjawab, "Tidak apa-apa." Lucas tidak menyerah, "Apa tugas dosen terlalu membebanimu?" tanyanya lembut. Felice menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. "Ini lebih rumit," jawabnya lirih. Lucas memperhatikan raut wajah Felice yang terlihat sedih. "Kau bisa cerita padaku kalau mau," ujarnya sambil tersenyum hangat. "Aku akan mendengarkanmu."

• RENEGADES •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang