[23] Misunderstanding

549 31 14
                                    

Nathaniel Kim sedang membaca salah satu novel ber-genre dystopia-nya di meja belajar saat tiba-tiba ia teringat akan ponselnya. Tangannya yang satu menyangga novel sedangkan yang lain meraba-raba meja. Lalu laki-laki itu ingat bahwa ia belum mengaktifkan ponselnya dari kemarin, tidak sama sekali.

Nathaniel menghela nafas panjang sebelum menaruh pembatas buku di antara lembar yang tengah ia baca. Sudah mencapai setengah novel, rupanya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya, menuju nakas yang berada di sebelah tempat tidurnya.

Membuka laci, ia menemukan ponselnya tergeletak dengan layar hitam. Nathaniel mengambil ponselnya lalu membawa benda itu bersamanya kembali ke meja belajar.

Ia menekan lama sebuah tombol yang berfungsi untuk mengaktifkan ponselnya namun layar ponselnya tetaplah hitam. Kontan hal ini membuat Nathaniel mengernyitkan keningnya. Sesaat ia terdiam menatap ponselnya sebelum akhirnya berdiri lagi dan membuka laci nakasnya. Ia mengambil charger kemudian cepat-cepat menyambungkan charger tersebut dengan ponselnya, sebelum ia menyolokkan charger di stop kontak.

Selagi menunggu ponselnya ter-charge hingga sepuluh persen, Nathaniel kembali melanjutkan aktivitas membacanya. Halaman demi halaman ia balik sehingga ia telah menyelesaikan sepuluh halaman selama dua puluh menit.

Nathaniel kini meraih ponselnya dan menghidupkannya. Tak berapa lama, wallpaper ponselnya muncul. Nathaniel membuka bar notifikasi setelah menunggu beberapa saat.

Cukup banyak pesan yang masuk, kebanyakan menanyakan tentang pelajaran. Maklum, Nathaniel dan teman seangkatannya naik ke kelas dua belas, yaitu kelas penentuan. Jadi Nathaniel mengerti bila teman-temannya banyak bertanya dan mulai belajar dari sekarang.

Sambil tangan kanannya mengambil salah satu buku pelajaran, ia membuka chat yang masuk satu per satu. Ia mulai membuka bukunya dan mencari penjelasan dari beberapa soal yang telah ia lupakan.

Sesudah membalas semua pesan yang berkaitan dengan pelajaran, Nathaniel mulai membuka pesan yang masuk tentang pergaulan sehari-hari. Beberapa teman dari tim basketnya juga bertanya apakah ia akan masuk ekstrakulikuler basket lagi atau tidak, yang tentu saja dijawab Nathaniel dengan kata "Masih". Walaupun ia sudah mengikuti kelas olahraga di sekolah dan setiap dua minggu mengunjungi gym, Nathaniel tetap merasa bahwa tubuhnya perlu untuk lebih bugar dari ini.

Saat semua pesan tersebut telah terjawab, Nathaniel mengerutkan keningny ketika tidak menemukan obrolan di group chat yang berisikan teman-teman dekatnya. Sontak Nathaniel mengerti kenapa tidak ada yang memulai obrolan, terkhususnya Revano dan Carvel yang selalu meramaikan group tersebut.

Nathaniel terdiam sejenak, memandangi ponselnya. Novel yang ia baca tadi ia singkirkan, mengembalikannya di susunan novel-novelnya. Ia menggulir layar ponselnya lalu menghapus chats yang sudah dibaca dan tidak memiliki kepentingan dengannya.

Sampai akhirnya ia berhenti pada satu nama. Satu-satunya personal chat yang tersisa. Nathaniel sudah tergoda untuk menghapusnya namun jari jempolnya malah membuka chat tersebut, alih-alih menekan tombol bersimbol tong sampah.

Lalu Nathaniel kembali menatap lama layar ponselnya. Memikirkan apa yang harus ditulisnya. Atau, ia tidak perlu menuliskan apa pun? Akhirnya jemarinya bergerak untuk mengetik.

Hey.

Membaca ulang satu kata yang baru saja diketiknya, Nathaniel menggelengkan kepalanya. Tidak, kata "hey" terlalu santai dan jatuhnya seperti Nathaniel hanya main-main dua hari yang lalu. Ia menghapus kata tersebut lalu menopang dagu.

Ia mengetik lagi. Armelle?

Mengerutkan dahinya ketika ia baca ulang, Nathaniel cepat-cepat menghapus kembali. Setelah semua yang terjadi, ia hanya mampu menulis nama gadis itu? Terlalu kasual, sama seperti kata yang sebelumnya ia tuliskan. Lagipula, apa yang akan ia jawab kalau Armelle membalas?

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang