BAB 16 - 7 Hari Penuh Siksa

409K 18.5K 791
                                    

H-7. Drama kecil dimulai dari sini...

"Kak..."

"Hhmm..."

"Kayon..."

"Maura! Udah gue bilang jangan manggil gue Kayon!"

"Abis Kakak nggak bangun sih. Ini aku mau ngomong. Makanya bangun." Kata Maura sambil mengguncang-guncang Dion.

"God dammit! Ok, Maura! I'm wake up now! Just talk the damn thing now!" Kata Dion kesal yang sekarang benar-benar bangun dan memelototi adiknya itu.

"Serem banget sih Kak, mukanya. Ini adiknya lagi hamil lho. Masa nanti kamu mau punya Ongkel yang mukanya kayak Hell Boy sih." Kata Maura sambil mengusap perutnya.

Dion mau tak mau tertawa. Sejak mengetahui dirinya hamil, Maura lebih cute dan menggemaskan. Sedikit-sedikit mengelus perut, sedikit-sedikit bicara sendiri dengan perutnya.

"Oke..." Kata Maura sambil menarik napas.

"Aku mau minta izin sama Kak Ion untuk menikah lebih dulu. Bukan maksud aku ngelangkahin Kakak, cuma mungkin, aku lebih dulu bertemu jodohku daripada Kakak." Kata Maura sedikit bercanda padahal gadis itu gugup.

Ditempatnya Dion diam. Tertegun. Maura meminta izinnya untuk menikah. Pada detik ini Dion tersadar akan sesuatu. Ia akan benar-benar kehilangan adiknya. Bukan dalam definisi yang buruk, memang. Tapi Dion akan kehilangan sosok adiknya dirumah ini. Ia pasti akan tinggal dengan Adrian bukan? Dion pasti akan rindu Maura yang selalu bawel saat membangunkan dirinya, minta dibuatkan makanan olehnya, pinjam gunting kuku Maura, karena gunting kuku Dion yang selalu hilang dan masih banyak kenangan dengan adik kecilnya ini. Ah, bukan. Adiknya ini bukan gadis kecil lagi. Ia akan menikah tak kurang dari seminggu ini. Yang jelas kamar disebelahnya akan kosong sebentar lagi dan di lantai atas ini tak akan seramai dulu.

Direngkuhnya adiknya itu ke dalam pelukannya.

"Kakak mengizinkan kamu. Kamu bahagia ya, Dek. Harus selalu bahagia sama Adrian ya."

Untuk pertama kalinya setelah tiga belas tahun, Dion kembali memanggil Maura dengan sebutan 'Dek'. Karena dulu, memang Maura yang tak mau dipanggil dengan sebutan itu, katanya sudah besar. Tidak mau dipanggil adik lagi.

"Makasih, Kak." Kata Maura yang tanpa sadar sudah memeluk Dion erat. Matanya berkaca-kaca.

Dion ditempatnya juga hampir menangis, matanya sudah memerah cuma ia menahannya saja.

"Kak Ion mau minta apa?" Kata Maura mengusap matanya. Tadi, satu butir air mata lolos turun dari pipinya.

Memang sudah menjadi tradisi jika seorang adik melangkahi kakaknya untuk menikah, sang adik berhak memenuhi keinginan sang kakak.

"Kemarin aku dapat undangan private show jam tangan Porsche Design untuk koleksi fall winter tahun ini..." Kata Dion memulai kalimatnya sambil tersenyum licik.

Maura sudah mengendus sebal ditempatnya. Tak ada lagi adengan mengharu biru di sinetron.

"Please, Kak... pilih yang paling murah!" Kata Maura kesal. Yang paling murah pun harganya sangat jauh dari kata murah.

Dion hanya tersenyum licik, lalu meraih handphonenya dan memperlihatkan sesuatu kepada Maura.

"Aku mau yang ini atau aku cabut lagi izinku." Dion menyeringai lebar.

Maura mendesah pasrah. Jam tangan yang Dion mau sama saja dengan harga kavling tanah di perumahan Pondok Indah!

"Baiklah, Kakakku yang paling tidak tersayang."

I'm Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang