XVIII. Firasat

26 2 0
                                    

Adillah's Side

Aku menatap Gerry yang tertidur di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya begitu tenang. Aku meraih rambut yang menutupi dahinya dan menyibakan rambut itu kebelakang. Melihat Gerry seperti ini membuatku ingin tersenyum.

Saat sedang asyik menatap wajah tidur Gerry, seseorang masuk ke dalam ruangan. Aku bisa mendengar suara pintu terbuka dan tertutup. Lalu kulihat siapa yang ada di belakangku. Irina, dia mengalihkan pandangan dariku. Terlihat sepertinya dia tidak suka melihatku terlalu dekat dengan Gerry seperti ini.

Masih teringat dikepalaku bagaimana Irina mengatakan perasaanya beberapa hari yang lalu. Aku buru-buru menjauh dari Gerry dan menghampiri Irina. Dia tersenyum padaku, tapi aku tau senyumnya itu tidaklah tulus.

"Err.. kau sudah datang?" Ucapku canggung.

"Yaa.."

Cklek..

Suara pintu dibuka. Seorang laki-laki paruh baya muncul di balik pintu itu. Aku terbelalak kaget, om Bima tersenyum ramah. Dan dibelakangnya, oh god! Ayah!

Aku berlari memeluk ayah. Di sela kesibukan ayah ternyata dia masih menyempatkan diri datang ke sini.

"Ayah? Om Bima?" Aku melepaskan pelukan ayah dan di balas senyuman oleh ayah. Aku memperhatikan wajah ayah. Kenapa ayah pucat sekali?

"Apa Effendi udah baikan?" Om Bima mendekati Gerry dan mengelus rambutnya penuh sayang.

"Sudah om. Tapi dia belum siuman dua hari ini. Awalnya dokter bilang dia terlalu banyak kehilangan darah. Ternyata dia juga sedang demam saat itu. Jadi kondisinya emang kurang baik."

"Hmm.."

"Maafin aku ya om." Aku mendekati om Bima. Wajahku menunduk penuh penyesalan. "Dia seperti ini karena salahku."

"Hmm.. benarkah? Padahal om kira dia jadi sok pahlawan karena menyelamatkanmu." Diluar dugaan, om Bima tersenyum. Tangan kokoh om Bima mengelus kepalaku dengan sayang. Aku hampir menangis karenanya. "Lalu yang di sana itu?"

"Ohh..om, ayah.. ini Irina. Temen sekamar aku. Irina, this is my father and this is Gerry's father." Aku mengenalkan mereka bertiga.

Mereka saling berjabat tangan dan tersenyum. Mungkin ayah dan om kurang bisa berbahasa asing, jadi mereka bingung mau berkata apa. Tidak lama kemudian, sebuah suara kecil menyadarkan kami.

"Papa?" Gerry membuka mata, melihat ayahnya dan tersenyum.

"Hey.. anak papa bisa sakit juga ya." Om Bima mengacak rambut Gerry pelan dan tersenyum. Entah kenapa aku merasa jika om Bima tidak marah dan malah bangga pada Gerry.

"Ini benar-benar sakit tau paa."

"Hey.. kamu itu baru bangun. Jadi nggak usah banyak ngeluh."

"Ugh.."

Aku mendekati Gerry, lalu tersenyum padanya.

"Thanks Ger. Makasih lo udah nyelametin gue sama Irina. Dan maaf karena gue lo jadi kayak gini." Aku menunduk sedalam-dalamnya. Irina berdiri di sampingku dan ikut menatap Gerry. Mungkin dia tidak tau apa arti kata-kataku. Tapi dia jelas tau apa maksudku, berterima kasih pada Gerry.

"Nggak apa-apa kok. Lagian kalo gue nggak masuk ke dalem, sekarang yang lagi tiduran di rumah sakit pasti bukan gue kan. Gue bersyukur, bukan kalian berdua yang ada di posisi gue."

"Umm.. sorry. I dont understand what're you saying. But, I want to thank you. You save me and Adillah." Irina menengahi kami. Dia lebih mendekat lagi pada Gerry dan menggenggam tangannya erat. Gerry hanya tersenyum simpul.

Traitor in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang