V. Accident

81 13 0
                                    

Adillah's Side

Sudah seminggu sejak Deksa jatuh dari atap sekolah. Aku masih merenung, mencoba menebak siapa orang yang mencoba mencelakai Deksa.

Sejak malam selasa minggu lalu, Rian selalu datang ke rumah setiap pulang sekolah. Hampir tiap malam dia juga selalu menemaniku. Biasanya pagi-pagi aku melihat dia tidur di sofa ruang tamu.

Seperti pagi ini, dia masih tertidur pulas di ruang tamu. Aku berjongkok di depannya. Menatap wajah sahabatku sejak kecil ini, yaahh.. sekarang bukan sahabat lagi sih. Aku tidak tega membangunkannya karena aku tau, dia juga pasti terus memikirkan Deksa. Aku melihat sebuah catatan, tulisan tangan ayah.

Rian, jangan paksakan dirimu. Dan terimakasih sudah menjaga Didil sampai sekarang. Lebih baik kalian berdua segera menjenguk Deksa. Om harap pelakunya segera tertangkap.

Dari mana ayah tau tentang Deksa? Apa Rian memberitaunya? Rian menggeliat, mata coklatnya terbuka dan langsung melihatku.

"Morning sweetheart.." ucapnya lembut sambil mengelus rambutku. Tentu aku merasa sangat nyaman dengan sikapnya padaku. Aku membalas ucapan pagi itu dengan senyuman manis. Lalu dia duduk dan membenarkan posisinya.

"Kok ayah gue tau tentang Deksa?"

"Semalem gue ngobrol banyak sama om Rendi."

"Oohhh... Cepet mandi sana." Aku beranjak pergi dan masuk ke dalam kamarku. Rambutku masih belum sempat ku ikat, jadi masih terurai.

10 menit aku merenung di kamar, sepertinya kesedihanku tidak ada habisnya jika terus seperti ini. Aku meraih ransel dan segera keluar kamar. Melihat Rian yang sudah memakai kemeja putih dan celana dasar kotak-kotak hitam. Dia sibuk memakai dasi hitamnya di depan lemari penghargaan.

"Udah selesai mandinya? Kok cepet banget Yan?" Dia menoleh, senyuman khas yang membuat mata sipitnya menghilang, muncul.

"Biasa, cowok."

"Yaudah.. buruan pake dasinya."

"Hari ini gue ada rencana jenguk Deksa pulang sekolah. Lo ikut?"

"Tentu!"

Aku sangat ingin mengunjungi Deksa. Sejak dia masuk rumah sakit, Rian selalu melarangku bertemu dengan Deksa. Katanya sih tidak ingin melihatku sedih. Dan akhirnya dia mengajakku ke sana! Aku harap Deksa sudah siuman hari ini.

------

Sampai di rumah sakit, aku cepat-cepat masuk ke dalam ruangan Deksa. Melihatnya masih sangat lemah di atas ranjang. Alat bantu pernafasan dan selang infus masih melekat di tubuhnya.

"Lo udah baikan Sa?" Aku menggenggam tangan Deksa erat. Tangan itu sangat lemah, bahkan dia hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaanku. Ibu Deksa pergi meninggalkan kami bertiga dalam ruangan ini.

"Maaf. Gue telat malem itu Sa. Gue kira awalnya lo cuma mau becandain gue. Pas gue denger suara orang itu, gue langsung cek aja gps lo. Tapi pas udh di sekolah, gue malah gak bisa gerak waktu liat lo udah di jepit bajingan itu. Gue gak bisa apa-apa dan nelpon Rian." Aku tidak bisa membendung air mata yang tiba-tiba menyeruak keluat dari kelopak mataku. Kulihat lagi wajah pucat yang ada dihadapanku.

"Sorry. Gue juga Sa." Rian menyentuh bahuku pelan. Selama aku menangis, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Begitu pula dengan Rian, dia terus diam menenangkanku. Sampai akhirnya kami berdua pulang ke rumah. Meninggalkan lagi Deksa yang masih terbaring di ruangannya.

"Yan, aku bersumpah akan menemukannya!!" Ucapku geram di balik helmku. Tidak ada respon dari Rian. Aku terus bergumam dalam hatiku, mengumpat selirih mungkin supaya Rian tidak mendengarnya.

Traitor in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang