IV. Perasaan Aneh (what?)

94 11 6
                                    

Deksa's Side

Aku melihat, mereka sedang bermesraan di sana. Di atas motor matic milik Rian. Apakah mereka sudah resmi pacaran? Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Selama ini aku terus menahan rasa sakitku saat Rian terus membicarakan Adillah.

Sejak SMP aku sudah menyukai Rian. Jujur, aku juga tidak tau apa yang membuatku tertarik pada Rian. Mengenalnya cukup lama, begitu pula dengan Adillah. Dia adalah sosok perempuan yang sangat sempurna dimataku. Dia adalah satu-satunya teman perempuan yang aku kagumi.

Aku masih ingat pertama kali Rian mengatakan jika dia suka dengan Adillah. Berulang kali aku meyakinkannya jika suka yang dia miliki hanya sekedar sahabat. Awalnya dia memang mengiyakan, bahkan dia sempat berpacaran dengan beberapa gadis. Tapi dia tidak pernah berpikir untuk menyukaiku.

Aku berjalan santai menuju rumahku yang sebenarnya cukup jauh dari sekolah. Tapi tak apalah, sekalian menghilangkan penat. Angin berhembus pelan, menerbangkan rambut hitam panjangku. Aku berhenti di pinggir jalan. Melihat seseorang yang ku kenal dengan gitarnya.

Aku mendekati orang itu, memang tidak salah. Dia adalah Gerry dengan kacamata tebalnya. Dia sudah tidak memakai seragam, yang artinya dia sudah pulang ke rumah. Aku melihat dia memandang kepergian Adillah dan Rian. Tapi ekspresinya datar seperti boneka otaku yang sering aku baca di manga. Tanpa ragu aku menghampirinya.

"Hey..Gerry kan?" Aku melontarkan senyum pada wajah datar dan pucat itu. Rambut gondrongnya bergoyang-goyang terkena angin. Seperti rambutku.

"Ohh..hey. Deksa?"

"Ngapain di sini?" Aku memperhatikan penampilannya. Tidak seculun kemarin, malah terlihat stylish. Dengan kemeja abu-abu dan skinny jeans yang melekat di badannya. Awalnya aku mengira dia sangat kurus. Saat diperhatikan lagi, dia cukup berisi.

"Cuma cari angin. Kok jam segini belum pulang?"

"Hmm.. ini masih sore Ger. Masih wajar kalo gue belum sampe rumah."

"Ooh..gitu. Kayaknya aku udah harus pergi nih. Sorry ya."

"Hehe, oke lah. Oiya, jangan ngomong pake aku kamu dong. Gue gak biasa dengernya."

Gerry mengangguk pelan dan langsung pergi. Memang agak canggung buatku jika jarus berbicara sopan dengan orang lain. Aku bukan tipe orang yang lemah lembut seperti kata orang di sekitarku.

Sudah 30 menit aku berjalan dan masih belum sampai juga ke rumah. Aku mendengus pelan, rasa lelah mulai menggerogoti pikiranku. Aku memutar badan dan kembali ke jalan menuju sekolah. Sayup-sayup aku mendengar sebuah alunan musik. Tanpa pikir panjang ku ikuti suara alunan itu.

Banyak sekali murid dengan seragam sama sepertiku sedang bergerombol melihat aksi sebuah band yang tidak ku kenal. Aku mendekati panggung sederhana itu, melihat 3 orang laki-laki mengenakan kaos oblong hitam dan jeans senada. Satu orang memukul-mukul drum set dan 2 orang lainnya memegang gitar.

Salah satunya adalah vokalisnya. Aku terpana melihat vokalis itu. Mereka sedang melantunkan sebuah lagu jadul yang sangat ku kenal.

Coz we lost it all
Nothing last forever
Sorry i can't be perfect

Now i just too late
And we cant go back i'm sorry i can't be perfect
(Simple plan - Perfect)

Aku menikmati suara indah itu sampai terbawa dalam alam khayalku. Entah lagu itu merefleksikan perasaanku atau tidak, tapi jelas aku sangat menyukainya.

Saat tersadar dari khayalanku, aku memperhatikan lagi wajah vokalis itu. Sepertinya tidak asing bagiku. Hmm..mungkin memang band ini sudah terkenal dan aku pernah melihatnya di tv.

Traitor in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang