II. Sumber Air Panas

92 15 5
                                    

Gerry's Side

Aku memperhatikan Adillah dan Rian kembali menuju tempat kami. Sebuah kantong plastik berisi belasan telur ayam di bawa Adillah. Dia langsung menghampiri Deksa yang sedari tadi diam. Wajah Deksa langsung berubah saat Adillah menghampirinya.

Aku terus memperhatikan Rian saat dia menyapaku, Hendra dan Andrian. Orang ini cukup banyak berekspresi menurutku. Dia mudah sekali tersenyum dan mengeluarkan candaan yang lucu. Tapi entah kenapa aku merasa candaannya itu tidak bisa membuatku tertawa.

Sebenarnya aku tidak ada rencana ikut dalam jalan-jalan mereka ini. Berhubung di kelas aku lumayan dekat dengan Hendra, dia mengajakku pergi bersama dengannya. Aku menyanggupi ajakannya karena aku tidak ada kerjaan hari minggu ini.

Aku sudah jaga-jaga membawa gitar kesayanganku. Walaupun sebenarnya aku tidak terlalu suka bermain gitar. Hanya sebuah pekerjaan yang mengharuskanku bisa bermain gitar.

Pagi tadi aku berkenalan dengan Adillah dan Deksa. Dua perempuan cantik yang merupakan teman masa kecil Rian. Aku pernah mendengar cerita tentang mereka berdua. Mereka cukup terkenal di kelasku, bukan hanya karena mereka cantik. Deksa yang feminime dan baik hati. Dan yang paling aku kagumi adalah Adillah. Menurutku dia hebat dalam segala hal. Dalam pelajaran, musik, olahraga dan lainnya. Aku memang hanya mengenalnya dari cerita-cerita para lelaki di kelas yang suka menggosip. Walau terkadang omongan laki-laki itu selalu menjurus pada hal yang tidak patut.

Aku kembali melirik Deksa dan Adillah dari balik kacamata tebalku. Melihat Adillah sangat dekat seperti ini menambah kekagumanku padanya. Kemeja coklat kotak-kotak berwarna coklat dan skinny jeans hitam sangat cocok dengan imagenya. Apalagi ikatan rambutnya, dia terlihat tomboi.

"Yan, kemana lagi kita?" Ucap Adillah sesaat setelah mengobrol dengan Deksa.

"Kita harus nyari tukang ojek deket sini yang mau nganter ke atas. Lumayan jauh jarak dari sini ke sana." Adillah menggut-manggut mendengarnya. Lalu kami mulai berjalan, mencari pangkalan ojek di sekitar pasar.

Untungnya banyak tukang ojek yang kosong. Kami langsung menyewa 6 supir dengan motornya. Mereka mau mengantar jemput kami dengan harga yang lumayan mahal menurutku. Tapi tidak apalah, tidak ada yang protes juga dengan itu.

Setelah melewati jalan pegunungan dengan jalan yang cukup curam, kami akhirnya sampai di sumber air panas. Cukup indah pemandangan di sana. Sumber air panas itu terletak di puncak gunung, berhadapan langsung dengan jurang. Udara di sini cukup dingin, kontras dengan uap panas bumi. Bau belerang yang khas juga menusuk hidung.

Aku membuka hoodie-ku, memperlihatkan sebuah kaos lengan pendek berwarna putih yang ku kenakan. Tas gitar kutelakkan di samping kanan. Aku sengaja tidak bergabung dengan Rian dan yang lain. Lebih asyik menikmati pemandangan jurang di bawah dari tempat ini.

"Ngapain sendirian di sini?"

"Ha?"

Suara itu mengejutkanku. Adillah berdiri tepat di sampingku dan memandang ke tempat yang sama denganku.

"Waah, jurangnya dalem juga ya. Gue gak kebayang kalo ada orang yang jatuh ke sana."

"Ehmm.. iyaa."

"Aduh. Agak canggung gue ngomong sama lo. Mending gabung sama yang lain sekarang yok?"

"Oh, oke."

Aku mengikuti langkah Adillah menuju 4 orang remaja yang sibuk merebus 6 telur di sebuah lubang dengan air yang meletup-letup. Hoodie sudah kumasukkan ke dalam tas gitar. Mereka terlihat sangat exited menunggu telur yang mereka rebus matang. Rian tersenyum manis kepada Adillah. Entah kenapa aku merasa senyuman itu memiliki maksud yang sangat dalam.

Traitor in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang