VI. No Glasses for Me (Gerry)

76 11 0
                                    

Gerry's Side

Sudah hampir seminggu aku tidak melihat Adillah dkk. Dan siang tadi aku baru bertemu mereka. Oh God, aku sangat malu melihat Rian dan Adillah tanpa kacamataku. Wajar saja, aku baru selesai bekerja dan ayah langsung memintaku menjemputnya. Ternyata salah satu mitra kerjanya sedang dalam keadaan kurang baik sehingga aku diminta menyetir mobil.

Walaupun sedikit enggan, aku mengiyakan perintah ayah. Siapa sangka mitra kerja ayah (om Rendi) adalah ayah Adillah. Sungguh sebuah kebetulan yang aneh.

Di dalam mobil, ayah dan aku tidak saling berbicara. Kami tenggelam dalam kesunyian kata-kata.

"Di, papa mau ngomong sama kamu." Ayah memecah kesunyian.

"Apa pa?"

"Kamu udah nentuin mau lanjut kuliah dimana?"

"Hmm.. belum sih pa. Lagi nimang-nimang universitas ini sama itu."

"Boleh papa ngasih usulan?"

"Apa pa?"

"Papa mau kamu masuk ke university of chicago."

"Haa?" Aku melongo, dengan otak pas pasan begini mana bisa aku masuk ke sana?

"Jangan khawatir, papa udah siapin tutor yang pas buat kamu. Pluss., temen sekalian."

Sekali lagi aku melongo, untung bukan aku yang memegang kemudi. Aku terus menatap ayahku, berharap jika perkataannya tidak serius.

"Tapi paa.. gimana sama kerjaanku?"

"Udahlah, kamu harus stop mikirin itu. Kamu udah kelas 3! Papa gak mau masa depan kamu jadi suram gara-gara kerjaan yang belum pasti hasilnya itu. Lagian kamu pasti cuma main di jalanan, emang ada yang bener-bener mau ngasih kontrak ke grupmu itu?"

Wajahku memanas, kesal! Bagaimana tidak? Kerjaan yang sudah aku geluti sejak kelas 1 SMP bersama 2 orang temanku yang lain. Yaah.. walaupun aku tidak terlalu menyukai kerjaan itu sih. Aku tetap mengerjakannya lebih karena kedua temanku yang lain.

Kalian tau? Aku punya sebuah grup band kecil. Dengan dua gitaris dan 1 drummer. Vokalisnya? Aku sendiri mendobel sebagai gitaris.

"Pa?"

"Keputusan papa udah bulat. Kamu harus ngelanjutin bisnis papa dan kuliah di sana."

Aku terdiam, mengalihkan pandanganku pada jendela yang ada di sampingku. Ada rasa kecewa yang sangat dalam. Aku merasakan mataku memanas, dengan segera aku meraih kacamata tebal yang ada di dalam tasku dan memakainya.

"Dan berhentilah memakai kacamata aneh seperti itu."

Aku tetap diam, tidak menjawab perkataan ayah itu. Memang kacamata ini cuma aksesoris saja. Tapi aku nyaman memakainya, seperti dunia yang kulihat hanya sebatas yang ada dalam cakupan kacamata ini. Dunia dimana aku bisa merasa nyaman adalah dunia terindah bagiku.

Mungkin kehidupanku akan lebih membosankan setelah lulus SMA nanti. Mm.. sepertinya tadi ayah mengatakan akan ada teman untukku.

"Trus siapa yang bakalan jadi temenku?"

"Kamu inget anak om Rendi, Adillah? Kamu bakalan kuliah bareng sama dia, papa harap kamu bisa temenan baik sama dia."

"Inget kok."

Lalu kami kembali terdiam seperti sebelumya. Bahkan sampai masuk ke dalam rumah dan kembali ke kamar masing-masing.

------

Keesokan harinya saat di sekolah, kali ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Aku melihat Adillah yang turun dari mobil. Wajahnya terlihat lesu, aku berjalan menghampirinya.

Traitor in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang