Adillah's Side
Aku mengobati luka-luka yang ada di wajah Rian. Dia tertidur di atas ranjangku. Baru kemarin lusa dia babak belur, dan sekarang sudah babak belur lagi. Aku menahan rasa sakit yang juga ada di tubuhku. Aku ini perempuan, tinjuan laki-laki dan perempuan itu beda kan? Dan semalam aku harus menahan sebuah tinjuan si Brian brengsek itu dengan perutku.
Setelah aku merasa luka Rian sudah terobati, aku keluar kamar. Melihat Gerry dan Hendra yang masih asyik menonton tv. Aku mengambil 3 kaleng cola dan setoples roti kering di dapur. Lalu menghampiri mereka berdua.
"Hey.. thanks udah mau bantu gue." Ucapku sambil meletakkan cola di depan mereka. Hendra langsung mengambil cola itu dan meminumnya. Dia tersenyum padaku dengan satu tangan terangkat membentuk huruf V.
"Jadi, kenapa kalian bisa jadi kayak tadi?" Gerry juga mengambil cola di depannya. Tapi dia hanya menatap kaleng cola itu dan tidak menatapku. Aku duduk di samping Gerry dan ikut menonton tv.
"Gue juga gak tau pasti kenapa bisa jadi kayak gini. Gue gak tau apa-apa." Aku menundukkan kepalaku. Kami terdiam beberapa menit.
"Eh.. Didil ada tamu?" Suara bi Inah menghancurkan suasana diam kami. Aku mengangguk pada bi Inah.
"Bibi belum pulang?"
"Tadi bibi abis dari rumah. Bibi balik lagi, soalnya ada yang kelupaan. Oh ya.. ada tamu nih? Maaf ya cantik kalo ganggu."
"Gak apa-apa kok bi. Ambil aja yang ketinggalan."
"Yaudah. Bibi ke dapur dulu ya."
Bi Inah melenggang masuk ke dapur. Aku kembali melanjutkan aktivitasku, meminum cola dan menonton tv dengan dua pria yang masih terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Dil, gue harus buru-buru pulang nih." Hendra meneguk colanya dan meletakkan kaleng kosong di atas meja.
"Ohh.. iya, thanks ya Hen. Makasih banget udah nolong gue."
Hendra kembali memasang senyum dan tangan V nya. Saat Gerry berdiri dari duduknya, Hendra menyentuh pundak Gerry.
"Lo di sini aja dulu. Gue bisa naik taxi. Lo jagain Didil sama Rian dulu yaa.." salah satu matanya mengedip cepat dan Hendra langsung mengambil langkah seribu. Keluar dari rumahku.
Setelah Hendra benar-benar pergi, kesunyian menghampiriku dan Gerry. Aku diam, begitu pula dengan Gerry. Ingin rasanya aku memulai pembicaraan dengannya, tapi aku bingung apa yang bisa kubicarakan padanya.
"Ehmm.. Dil?" Gerry memecah kesunyian antara kami. Aku menoleh padanya dan mendapati dia sedang menoleh ke arahku.
"Ya?" Jawabku sedikit canggung.
"Soal kuliah, lo udah bilang sama Rian?"
"Emm.." (aku menggeleng pelan) "gue bahkan gak kepikiran buat bilang ke Rian. Gue bingung gimana bilang ke dia."
"Terus lo mau diem aja?"
"Nggak. Cepat atau lambat gue harus bilang sama dia. Lagian gue yang bilang ke lo buat cepetan ngomong sama temen-temen lo. Tapi gue sendiri yang ragu dan malah lupa."
"Yaah.. bilang lebih cepet lebih bagus kan? Eh Dil.. lo kenapa?"
Gerry mendapatiku sedang menahan sakit dengan kedua tangan di perut. Aku menatap wajah khawatir yang terlihat semakin samar itu. Rasa pusing yang luar biasa juga menusuk-nusuk kepalaku tanpa ampun.
"Didil!!" Teriakan Gerry itu adalah suara terakhir yang ku dengar sebelum seluruh duniaku terlihat gelap.
-----

KAMU SEDANG MEMBACA
Traitor in My Life
Roman pour AdolescentsAdillah, Rian dan Deksa adalah 3 sahabat yang sangat dekat. Banyak peristiwa yang mereka lalui bersama. Banyak hambatan dan halangan dalam persahabatan mereka, bahkan sampai masalah cinta. Ada juga Gerry, orang yang masuk dalam kehidupan persahabat...