IX. Strange (my feeling)

58 10 0
                                    

Adillah's Side

Aku turun dari bis dan berjalan santai menuju gerbang. Earphone sudah terpasang di kedua telingaku. Lagu jazz dan pop mengalun masuk ke dalam gendang telingaku. Aku terpaksa memakai seragamku saat kelas 10, sedikit kekecilan memang. Rok yang dulu selutut sekarang sudah beberapa centi di atas lututku. Aku anggap diriku tetap kece dengan seragam ini, tidak peduli dengan pandangan orang lain.

Di depan gerbang, kulihat Gerry berdiri sambil menyenderkan punggungnya. Aku melambaikan tanganku dan dia membalasnya. Bersamaan dengan itu, Rian menghampiriku. Dia tidak menggunakan motor maticnya pagi ini. Rian melepas earphoneku dan mengalungkannya dileherku. Raut wajahnya masih terlihat sedih menurutku.

"Hey Dil.. lo masih marah sama gue?"

"Nggak kok. Maaf ya, kemaren gue cuma kebawa emosi." Aku tersenyum pada Rian seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lalu kami masuk ke dalam sekolah bertiga. Banyak orang yang menatap kedatangan kami.

Entah karena seragamku yang mencolok atau kejadian kemarin, Rian yang masuk setelah sekian lama absen, dan Gerry yang you know his face. Aku merasa seperti artis dadakan pagi ini.

Di koridor, aku melihat Deksa yang berjalan ke arah kami. Aku kembali memasang earphoneku dan tetap menatap ke depan. Kulihat dia melambaikan tangan pada kami, cih.. aku merasa jijik dengan sikapnya itu. Rian membalas lambaian tangan itu dan berhenti sejenak. Tapi tidak denganku dan Gerry, kami terus berjalan menuju kelas. Tidak kuacuhkan panggilan dari Rian.

Begitu masuk ke dalam kelas, aku melihat perbuatanku kemarin. Engsel pintu ini masih belum diperbaiki. Mungkin aku akan dipanggil ke kantor karena ulahku ini. Lalu aku masuk dan duduk di bangkuku. Tidak kupedulikan tatapan teman sekelasku.

"Dil.. lo marahan sama Deksa?" Lagi-lagi Rian melepas earphoneku. Benar-benar mengganggu pagiku yang tenang.

"Entah." Ucapku sinis. Melihat orang yang kami bicarakan masuk ke dalam kelas.

"Didil? Lo ada masalah apa sih?"

"Gue gak ada masalah apa-apa kok."

"Sorri.."

"Buat apa?"

"Gue bener-bener minta maaf. Jadi jangan marahan sama Deksa."

Aku hampir saja menampar wajah Rian. Dia tidak tau apa-apa tapi malah membela Deksa seperti itu.

"Kalo lo gak tau apa-apa mending gak usah ngomong deh."

"Ya lo cerita ke gue geh."

"Tanya aja tuh sama si 'penghianat'!"

"Didil!" Kali ini Rian meninggikan suaranya. Aku tidak peduli lagi dan pergi keluar kelas. Ku tatap tajam Deksa yang duduk di bangkunya, masih untung aku tidak memukul atau membalas kelakuannya.

"Kalo emang lo mau tau, tanya aja sama orang ini. (Aku menunjuk Deksa) tanya sedetail-detailnya apa yang udah dia lakuin ke gue dan apa maksud dia ngelakuin itu." Aku berlalu meninggalkan kelas. Sepertinya jam pertama ini aku ingin menangkan diri dulu sebelum belajar.

Aku berlalu dan melihat Gerry. Dia berdiri di depan pintu kelas, sepertinya dia juga punya masalah dengan kelasnya. Kulihat dia beberapa kali bergumam pelan, seperti mengumpat. Dia menyadari kehadiranku dan tersenyum.

"Hey Dil.. kenapa kok malah di luar?"
"Lo sendiri kenapa?"

"Eh.. di tanya malah balik tanya."

"Haha.. gue lagi males di kelas. Rian terus-terusan nanya kenapa gue singut sama Deksa."

"Oohh.. gitu. Gue juga males di kelas. Makin lama gue risih sama cewek-ceweknya."

"Haha.. wajar lah Ger. Lo itu harusnya dari dulu lepas kacamata."

Traitor in My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang