#17 Kesalahan yang Sama

2.7K 140 0
                                    

Bau khas tanah yang masih tercium akibat hujan semalam membuat Rara tidak bisa berjauhan dari tempat tidur. Kalau saja jam 10 pagi nanti ia tidak ada janji dengan Akbar pasti Rara akan bermalas-malasan di atas tempat tidur kesayangannya. Tapi janji tidak boleh diingkari dan segera saja ia menuju kamar mandi karena jam sudah menunjukkan 9 pagi. Berarti ia masih mempunyai waktu 1 jam untuk bersiap-siap.

Kali ini Rara hanya pergi berdua dengan Akbar karena ini adalah permintaan maaf Akbar kepada Rara ketika Akbar mengambil keputusan untuk mengajak Zahra ikut mereka. Karena waktu hang out mereka terganggu dengan adanya Zahra.

Setengah jam Rara sudah siap dengan pakaian yang ia pakai hari ini, ia berdo'a semoga janji hari ini tidak gagal lagi seperti yang sebelum-sebelumnya. Ia sudah duduk di ruang tamu rumahnya, tinggal menunggu Akbar menjemputnya.

"Akbar belum jemput kamu juga, Ra?" Rara menoleh kepada Bundanya yang sudah duduk di sampingnya.

"Nggak tahu nih Bun, mungkin macet."

"Coba telpon Akbar." Rara pun mengikuti intruksi sang Bunda.

"Nggak nyambung Bun, masa dia lupa sama janjinya sih, Bun?" Rara sudah harap-harap cemas, ia tidak mau yang sudah-sudah terulang kembali. Tapi ia sudah menunggu Akbar lebih dari satu jam dan parahnya belum ada tanda-tanda Akbar akan datang.

"Jangan nethink dulu Ra, mungkin bener apa kata kamu tadi, macet." Rara hanya mengangguki kepalanya berusaha untuk berfikir positif. Setelah berbicara itu, Bundanya pun meninggalkan Rara ke dapur karena memang tujuan pertamanya ke dapur.

Dua jam

Tiga jam

Rara sudah tidak peduli dengan janji Akbar. Rara segera pergi kekamarnya.

Benci, Rara benci Akbar.

Rara merasa bodoh, bodoh untuk mudah percaya apa kata Akbar. Sekalinya pembohong tetap saja pembohong. Dan Rara benci pembohong. Tidak habis fikir dengan Akbar, bagaimana bisa ia mengingkarkan janji dua kali.

Satu kali Rara masih bisa memaafkan dan yang kedua kali Rara sudah tidak bisa. Sebut saja dia egois, memang dia egois. Dia akui itu dan ia tidak menyangkalnya.

Seharian Rara tidak memainkan ponselnya, ia tahu Akbar pasti akan menguhubunginya dan mengatkan alasan yang tidak masuk akal. Rara tidak peduli. Dan hari dia berkali-kali mengatakan kalau ia sudah tidak peduli dengan Akbar dan itu sungguhan.

* * *

R

ara segera turun ke lantai satu karena dipanggil oleh sang Bunda.

"Ada apa, Bun?"

"Ada Akbar, samperin sana," dengan malas ia pun menghampiri Akbar yang berada di ruang tamu.

"Maaf ya Ra tadi pagi aku ada urusan jadi..." Baru saja Rara menduduki bokongnya di sofa sebrang Akbar.

"Ya, udah biasa kok."

"Bukannya gitu Ra, aku mau jelasin alasannya."

"Alesan apa lagi? Zahra kan?" Akbar tidak mengelak.

"Benerkan, Bar?"

"Iya tadi pagi aku nganter dia..."

"Kamu selalu ngingkarin janji kamu kalo udah ada sangkut pautnya sama Zahra, Bar. Lain kali nggak usah deh buat-buat janji kayak gitu kalo akhirnya diingkarin."

"Bukannya gitu Ra, Zahra punya penyakit dan dia cuma punya mama. Papanya udah meninggal, dia kurang kasih sayang dari Papanya. Aku berusaha bantu dia..."

Rara [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang