8: Break Up

6.6K 399 11
                                    

Haloo!
Maaf nih aku ngepostnya malem malem, harap dimaklumi<3
Btw sebenernya aku ga demen banget nulis part ini sumpahhh:((

"Jangan nangis, belom tentu nanti aku masih bisa ngapus", lanjutnya sambil masih tersenyum. Ia mengacak pelan rambut gue lalu berdiri, hendak berjalan keluar. Semakin dia menjauh, semakin hati gue berteriak agar gue menahan dia, tapi sepertinya kaki gue berkata lain. Kedua kaki gue terasa lemas, seperti tidak mau berdiri walaupun hati dan pikiran gue memaksa supaya gue menahan Iqbaal.

"Bodoh! Bego! Tolol!", hati gue terus mengumpat. Betapa bodohnya gue membiarkan dia pergi!

Sekarang gue duduk di tepi kasur ini sendirian. Tak ada lagi cowok itu di ruangan ini, tak ada lagi yang duduk di samping gue. Dan yang paling utama adalah, tak ada lagi Iqbaal yang berstatus sebagai pacar gue.

Gue menangis semakin kencang, berharap setelah ini air mata gue kering dan penyesalan yang ada di hati gue hilang.

Tingtong!
Gue mendongak ke arah asal suara. Gue terdiam sejenak, mengira-ngira siapa yang menekan bel kamar gue pada saat yang (sangat) tidak tepat ini.

Iqbaal? Gue membulatkan mata gue saat nama itu melintas di pikiran gue. Gue sangat berharap yang ada di balik pintu itu benar-benar dia.

Tingtong!
Bunyi itu terdengar untuk yang kedua kalinya. Gue langsung berdiri lalu berjalan ke arah pintu.

Cklek
Gue membuka gagang pintu itu perlahan.

Aldi's POV

Bruk!
Gue yang sedang duduk di depan meja rias di kamar ini sambil sibuk dengan iPhone gue seketika mendongak mendengar suara bantingan pintu itu. Terlihat seorang cowok dengan wajah yang benar-benar berantakan. Kayak abis nangis, kusut banget. Eh bentar, Iqbaal nangis?

Ia duduk di tepi kasur, kemudian setelah beberapa detik, ia merebahkan badannya lemas. Telapak tangan kanannya menutupi kedua matanya. Mendadak, pikiran gue langsung tertuju pada Lyra. Tanpa pikir panjang, gue mengantungi iPhone gue di saku celana gue lalu berjalan keluar kamar, menghiraukan tatapan heran yang Bang Kiki berikan pada gue.

Gue menekan tombol kecil di samping kanan pintu kamar hotel di seberang kamar gue. Tidak ada jawaban. Gue menekannya untuk yang kedua kalinya.

Cklek
Pintu itu perlahan-lahan terbuka. Gue menatap mata lembab cewek yang membukakan pintu untuk gue. Tuh kan, pasti dia nangis-nangis heboh, deh. Iqbaal aja nangis, gimana dia?

Kita tatap-tatapan canggung beberapa saat. Tiba-tiba.

"Hueeeee", cewek itu mengeluarkan suara rengekan yang sangat kencang. Jauh lebih parah dari rengekan anak kecil, sumpah. Gue reflek menutup mulutnya dengan telapak tangan kiri gue, kemudian masuk lalu menutup pintu kamar itu dari dalam.

"Sssst!", tukas gue lalu melepaskan tangan gue dari mulutnya. Lyra masih terisak, namun tidak merengek lagi seperti tadi.

"Kenapa?", tanya gue pelan. Mendengar pertanyaan gue, dia kembali menangis. Tangisannya kali ini tidak seperti anak kecil yang menggemaskan seperti tadi. Sekarang tangisannya terdengar sangat menyakitkan di telinga gue. Gue langsung memeluk cewek itu, mencoba menenangkannya. Tangan kiri gue mendekap erat pinggangnya, sementara tangan kanan gue berada di belakang kepalanya sambil sedikit mengusap-usapnya.

"Udah ah, cerita dong", ujar gue dengan nada ceria. Berharap keceriaan yang gue buat-buat ini dapat menular kepadanya.

"Gue putus, Di", jawabnya singkat. Gue langsung merenggangkan pelukan gue. Kedua tangan gue sekarang memegang kedua pundak Lyra.

[1] PERI CINTAKU -idrTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang