Langsung aja yaa, happy reading!
"Gak perlu aku anter ya?", tanya gue tanpa membutuhkan jawabannya. Gue langsung berdiri lalu berjalan meninggalkan Iqbaal yang masih terpaku. Gue masuk ke kamar mandi, supaya memberikan kesan pada Iqbaal bahwa gue akan mandi. Padahal enggak, gue hanya mau menumpahkan semua air mata gue di dalam. Berharap air mata gue akan habis saat ini juga.
Iqbaal's POV
Perlahan ia beranjak lalu berjalan masuk meninggalkan balkon ini.Brak!
Pintu kamar mandi yang tadinya terbuka, sekarang tertutup. Pasti Lyra masuk ke dalam.Gue cuma bisa diam terpaku menatap hampa ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Sedih, kecewa, menyesal, perasaan gue berkecamuk hebat. Percaya atau tidak, ini pertama kalinya gue ngerasain perasaan se-complicated ini di hidup gue. Yang jelas dada gue sesak, mata gue panas dan nafas gue sudah tak bisa gue kendalikan.
Serius, gue sama sekali gak pernah merasakan hal seperti ini saat bertengkar dengan mantan-mantan pacar atau gebetan gue dulu. Entah Steffi, Dianty, Salsha, Inarah, ah, pokoknya semua cewek yang pernah deket sama gue, gue gak pernah semenderita ini tanpa mereka. Rasa sayang gue ke Lyra berlipat-lipat ganda lebih besar dari rasa sayang gue ke semua cewek yang gue sebut maupun cewek yang gak gue sebut lainnya. Lyra adalah cewek ketiga yang bisa buat gue nangis setelah Bunda dan Teh Ody. Sumpah, gue gak pernah se-sayang ini sama cewek.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi mulai terdengar, kayaknya Lyra beneran mandi. Atau mungkin cuma membasuh muka dan matanya yang bengkak itu? Dia lagi ngapain sih? Arghh, gue gak bisa mikir jernih sekarang.
Gue ngapain sih tadi?! Kenapa gue bisa bentak dia kayak gitu? Kenapa gue bego banget sih? Kenapa kerjaan gue cuma bikin dia nangis, bikin dia kecewa?
Gue terus mengutuki diri gue sendiri, meratapi kebodohan gue yang bener-bener klimaks kali ini. Orang gue yang salah, gue yang ngebentak.
Perlahan gue berdiri, lalu berjalan masuk ke kamar Lyra, meninggalkan balkon ini. Gue berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menatap kosong ke arah pintu tersebut.
Gue perlahan melangkahkan kaki gue menuju pintu keluar kamar Lyra, lalu gue memegang gagang pintu kamar Lyra. Apa gue harus keluar? Apa gue harus ninggalin Lyra sendirian? Secara logis, harusnya gue nemenin dia. Tapi dia gak akan mau ditemenin sama cowok yang udah terlalu sering nyakitin hatinya.
Hati gue makin sakit dan jantung gue makin berdegup tak beraturan saat memikirkan Lyra. Gue gak mau dibenci sama orang yang gue cinta, gue gak mau keberadaan gue gak di anggap sama dia. Tapi gue harus inget, perasaan Lyra pasti jauh lebih sakit dari yang gue rasain sekarang. Ini bukan apa-apa. Rasa sakit yang gue alami belum seberapa. Pada kondisi seperti ini, gue tiba-tiba tersenyum miris, memikirkan betapa kuatnya pacar gue ini. Dia masih sanggup bertahan dengan rasa sakit yang udah berkali-kali dia rasakan karena ulah gue.
Gue masih menggenggam gagang pintu kamar Lyra, terus memikirkan apakah gue harus keluar atau tetap berada di sini.
Ah! Gue tau!
Gue segera merogoh saku celana jeans gue lalu mengeluarkan iPhone gue. Gue menatap iPhone gue, lalu menarik nafas dalam-dalam kemudian menghapus air yang hampir tumpah dari mata gue.
"Satu-satunya jalan", pikir gue.Lalu gue berjalan keluar kamar Lyra, lalu keluar dari rumah Lyra setelah berpamitan dengan mamanya Lyra.
Gue masuk ke mobil lalu menjalankannya. Setelah mobil sudah berjalan, gue kembali berkutat dengan iPhone gue, melakukan "satu-satunya jalan" yang tadi sempat terlintas di otak gue.
Aldi's POV
Bruk
Gue menjatuhkan badan gue ke kasur. Tepar abis jadi babunya nyokap tadi. Ya, apa lagi kalo bukan nemenin nyokap shopping? Rempong bat dah!
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] PERI CINTAKU -idr
FanfictionSaat keyakinan menghalangi cinta. Saat cinta terhambat oleh keyakinan. Saat kita mulai jatuh cinta dengan seseorang yang "berbeda" dengan kita. Rasanya bahagia, tapi aneh, sakit, semuanya bercampur menjadi satu. Akankah cinta dapat mengalahkan segal...