Bab 1. Awal Mula

622 51 27
                                    

Tidak pernah terbayang dalam benakku bahwa sewaktu orangtuaku pamit pergi untuk beberapa hari ternyata itu hari terakhir melihat mereka secara manusiawi.

Namun, sebaiknya aku menceritakan ini dari awal...

Pagi hari bagi keluarga Window berarti sebelum ayam berkokok dan sebelum burung bernyanyi riang di dahan pohon. Tapi, keadaan berubah sejak pindah rumah satu minggu lalu. Tidak ada ayam berkokok. Atau burung berkicau. Bahkan tidak ada tanda-tanda makhluk hidup selain kami. Aku sudah mencoba berbagai macam cara agar orangtuaku mengerti, tapi kebahagiaan mereka rasanya tak mampu ditahan hingga tumpah dan berimbas pada kehidupan kami yang sebelumnya bahagia.

Aku selalu mengingat hari tersebut, 18 Maret ketika papa mendapat surat dari salah satu sanak keluarganya. Bahwa ia mewariskan rumah beserta isinya untuk papa tempati karena ia berencana pindah ke Amerika. Serta berkata secara implisit yakni papa pantas mendapat rumah yang lebih layak daripada rumah kami sebelumnya. Dari awal aku sudah tidak setuju. Rumah kami bagus, temanku gaul dan yang paling menyenangkan jendela kamar tidur yang bersebelahan dengan jendela kamar Agustina, sahabatku. Awalnya, kami betah ngobrol lama-lama. Pada usia dua belas tahun, kami mulai gemar permainan Jujur atau Tantangan. Agustina tidak menyukai kalimat Truth or Dare, jadi ia mengartikannya secara bahasa Indonesia. Di usia tiga belas tahun, kami mengalami kebosanan kronis dan memilih membicarakan lelaki tampan. Hal ini berlanjut hingga berumur lima belas tahun. Hormon-hormon kami sepertinya bekerja luar biasa, tapi tidak ada yang spesial di tahun tersebut. Puncaknya tepat enam belas tahun, harusnya kehidupan SMA kami sebagus kisah di novel romance yang sering kami baca. Tapi, ternyata tidak. Aku pindah rumah. Tidak ada jendela yang bersebelahan dengan Agustina, tidak ada permainan dan pembicaraan lelaki ganteng. Dan kebahagiaan orangtuaku pada saat itu rasanya ganjil.

"Aku tak menyangka!" Papa berteriak sambil berlari keliling ruangan, membawa kertas seukuran HVS A4.

Mama yang sibuk di dapur, akhirnya bereaksi. "Jim, jangan begitu depan anak-anak."

"Karren, kau harus lihat ini!" Papa mengangkat kertas tinggi-tinggi. Bersorak.

Aku dan Tom—saudara tiriku—yang berada di depan pintu dapur akhirnya menaruh minat juga. Mama memberi isyarat agar papa langsung membacakan saja. Dan ia setuju. Papa membacakan keras-keras dari tanggal sampai salam. Butuh waktu lima menit untuk membaca. Tapi, butuh waktu harian untuk memahami keputusannya.

"Saudara Nenekku, Paul memberikan rumahnya kepadaku, lengkap dengan surat-suratnya," kata Papa menarik intinya agar mudah dipahami. Ia memainkan lipatan kertas, "tempatnya di Lantern Black."

"Hah?" aku tercengang. "Di mana tuh? Aku enggak pernah dengar."

"Kayaknya bukan tempat yang baik dari namanya." Tom menganalisis seperti biasanya.

Umur Tom sama sepertiku, enam belas tahun. Tapi ia lebih tinggi jauh lebih tinggi dari anak normal seusianya. Bukan berarti ia mengalami gigantisme. Rambutnya hitam berombak. Matanya juga hitam dan wajahnya tirus. Tampangnya persis seperti papa. Sementara, aku termasuk lumayan tinggi untuk remaja perempuan seumuranku. Tapi, lebih pendek lima sentimeter dari Agustina. Rambutku panjang, lurus dan hitam. Mataku agak kecoklatan. Aku mirip mama.

Orangtuaku bercerai ketika aku berumur sepuluh tahun. Namun satu bulan kemudian, papaku meninggal karena sakit. Hal yang sama juga terjadi pada mama Tom. Akhirnya mamaku dan papa Tom menikah tepat setelah kami berulang tahun kesebelas. Aku suka papa tiriku. Tom dan aku lumayan akur. Tapi, terkadang ia bertingkah menyebalkan.

Mama menggelengkan kepala. "Aku juga belum pernah dengar. Lagi pula memang ada keluargamu yang bernama Paul? Sepertinya tidak ada."

"Entahlah." Papa mengedikkan bahu. "Tapi, kita tetap akan pindah ke sana."

Mama mengangguk. "Jika itu keputusanmu. Mau bagaimana lagi. Aku juga sudah bosan di sini."

Tidak ada diskusi apa pun hari itu. Bahkan spekulasiku tentang rumah baru yang kemungkinan jelek dipatahkan oleh mereka. Kami semua tidak tahu bagaimana rupa rumah itu. Jadi, kenapa mereka bertindak seolah sudah mengenal rumah itu puluhan tahun hingga dibela habis-habisan? Aku tidak tahu alasannya, yang jelas wajah mereka berdua terlihat berseri-seri saat mempersiapkan kepindahan kami.

Memang sih sudah beberapa lama, orangtuaku membicarakan kebosanannya di tempat kerja. Papa jenuh menjadi karyawan di bank meski gajinya lumayan. Mama bosan menjadi manager di perusahaan advertising dan memutuskan total untuk merawat anak, mengkhayal menjadi ibu rumah tangga yang baik. Benar. Mama memang mengkhayal. Soalnya setiap hari ia gemar bekerja. Jadi, sudah kupastikan ia akan gatal jika tak bekerja ini-itu. Kebosanan mereka tetap menjadi pembicaraan harian. Setiap menjelang makan malam, orangtuaku akan mengeluh tentang pekerjaan masing-masing. Tidak pernah ada titik terang untuk pembicaraan mereka yang menjengkelkan itu. Hingga hari surat itu datang.

Mereka bergegas mengundurkan diri dari pekerjaan masing-masing. Dan entah bagaimana mereka mendapat pekerjaan lain dengan segera. Setelah itu, kami melakukan perjalanan enam jam dari rumah lama ke Lantern Black. Sekarang ganti aku yang mengeluh. Aku mengeluh setiap hari, jam, menit dan detik agar pindah lagi ke rumah lama. Tapi, tak juga memecahkan batu hati orangtuaku. Dan sekarang mereka akan pergi dua minggu tanpa mengajakku. Nasib.

Aku meratap melihat orangtuaku memasukkan koper ke bagasi mobil. "Kenapa sih kita enggak boleh ikut?"

"Nikki, kami sudah menjelaskan kenapa," ujar Papa sambil menghela napas. "Mama dan Papa harus ke Singapura untuk urusan bisnis!"

Aku tidak tahu bisnis apa yang sedang mereka jalani, yang jelas aku tak peduli kesibukan mereka. Aku lebih ingin mereka di rumah bersamaku. Merasakan apa yang seharusnya dirasakan.

"Kalau itu sih aku sudah tahu." Aku menyahut sambil sengaja bersandar di pintu mobil agar menghalangi jalan papa masuk. "Tapi, kenapa kita tidak boleh ikut? Kenapa aku mesti tinggal sendirian di sini?"

"Karena kami bilang begitu," jawab Mama dan Papa kompak. Pantas mereka menikah. Pikiran mereka saja sudah segaris mirip.

Aku mencibir, karena kami bilang begitu. Aku sudah berulang kali mendengarnya. Setiap pertanyaan kenapa, jawabannnya hanya itu. Seolah orangtuaku robot yang sudah disetting agar menjawab demikian secara otomatis.

Papa menggeser tubuhku dengan mudah. Kekuatannya tiga kali pertahananku. Mama beranjak mendekat dan memelukku. Biasanya pelukannya selalu menyenangkan, tapi aku tak merasakan hal itu sekarang. Kalau menuruti emosi, aku lebih pengin lari ke dalam rumah, mengunci pintu kamar sambil menangis. Seperti delapan tahun lalu ketika mama pergi ke pasar. Namun, sekarang umurku enam belas tahun. Tak pantas begitu. Lagi pula, mama juga tidak akan lari ke kamarku dan menenangkan seperti biasanya. Everything has changed. Aku benci itu. Aku ingin bisa menahan kepergian mereka. Sebab pelukan mama kini terasa hambar, dan aku mati rasa. Perasaanku mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Semoga saja tidak.

"Sayang, kami cuma pergi sebentar," tutur Mama sambil mengusap kepalaku. "Hanya sebentar, setelah itu kita langsung pulang. Kau mau oleh-oleh? Perangko kuno seperti kesukaanmu? Siapa tahu bisa menambah koleksi."

Aku menggeleng. "Buku albumnya saja tertinggal di rumah Agustina," kataku pahit. Menahan air mata yang berdesakan ingin keluar.

"Kami cuma pergi sebentar. Selama pergi, jangan melakukan apa pun yang menyebabkan rumah terbakar," kata Papa sambil tertawa. Meremas pundakku dan Tom.

Kalau saja itu cuma sekadar gurauan. Kalau saja mereka tahu apa yang terjadi selanjutnya, pasti orangtuaku akan berharap bisa mengulang waktu dan membawa aku dan Tom agar selamat. Namun, nasibku sudah ditentukan saat mobil mereka hilang dari pandangan.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang