Bab 4. Perubahan Cepat

217 32 6
                                    


Ada yang menggelitik di atas kepalaku. Kulihat wajah Tom mencong-mencong, aku mencoba menunjukkanya dengan jari untuk bertanya meski tak ada suara yang keluar. Hal yang sama dilakukan Tom. Sepertinya ia melihat apa yang kulihat. Hawa terasa dingin. Seluruh kamarku mendadak terang seolah sinar matahari menerobos kamar. Padahal aku yakin seratus persen bahwa hari ini masih malam dan tidak ada jendela di kamarku. Tom menutup mata lebih dulu, aku mengikutinya. Dan silau itu hilang sedetik kemudian.

Perlu waktu agar retina mataku menangkap benda yang terlihat menjadi utuh, bukan dua dan bukan titik-titik berwarna. Sementara Tom melepas kacamatanya, mengucek-ucek kedua mata dengan punggung tangan dan melirik ke papan main. Kepalaku tersentak sadar. Kulihat pion Tom bergerak dua petak. Begitu juga jam yang bergerak memenuhi angka dua dengan pasirnya. Aku memicingkan mata melihat lebih jelas tulisan tegak bersambung di petak itu.

Keluarga baru. Awal mimpi burukmu.

Lucu sekali. Permainan konyol. Bersamaan dengan pintu kamarku diketuk.

"Mama! Papa!" Tom berseru. Orangtuaku pulang? Bagus. Tunggu dulu. Masih ada waktu sebelas hari lagi sebelum mereka pulang dari urusan bisnisnya. Jadi, siapa yang mengetuk pintu?

Whoa! Tidak mungkin.

"Jangan Tom!"

Bersamaan dengan tangan Tom yang menarik gerendel pintu. Aku tak bisa lagi mencegahnya ketika daun pintu terbuka lebar. Menampilkan mama dengan senyum cerahnya. Tom menoleh ke arahku memberi kode pertanyaan kenapa? Aku tidak berminat menjawabnya karena sudah terlambat.

"Hai anak-anak, ayo makan malam," kata Mama, lalu mengintip dari balik tubuh Tom. "Nikki, kenapa wajahmu merah dan keringatan begitu kayak dikejar beruang aja?"

Mama pulang? Benar-benar pulang secara manusiawi? Apa pun yang kulihat depan mataku sekarang, kuharap ini memang mama asliku. Diam-diam berdoa kalau orangtuaku pulang karena bisnisnya berjalan lancar dan cepat selesai. Bukan karena permainan menakutkan ini.

"Sudah selesai bisnisnya?" tanyaku dengan nada setenang mungkin.

Mama mengembuskan napas geli. "Bisnis memasak dan memanggil kalian selama dua jam karena enggak ke segera meja makan? Ya sudah selesai," katanya. "Ayo, lekas turun!"

"Aku paham apa yang kau pikirkan jadi tak perlulah dikatakan lagi," kata Tom getir saat mama sudah pergi dari depan kamar.

Aku akhirnya memutuskan untuk turun, menemui orangtuaku. Sepertinya tidak ada perubahan. Jadi, aku mendorong papan permainan ke kolong ranjang. Tom memanfaatkan kesempatan itu untuk menjabarkan rasa takutnya. Tentu saja aku sama takut seperti dirinya. Tapi, aku perempuan dan lebih berakal sehat karena tidak membaca buku tak berguna milik Tom. Lagipula aku penasaran ingin melihat apa maksud kata-kata di papan. Tom mengekoriku di belakang dengan berbagai macam dalih untuk menghindar. Dan aku tak terlalu mendengarnya.

Tangga yang kupijak masih sama seperti tangga yang beberapa menit lalu aku injak. Kepercayaan diriku semakin bangkit. Kupikir itu hanya mainan konyol. Begitu di ruang makan, aku menyadari kekeliruannya. Karena ada dua tragedi yang membuat kepala sakit:

1. Permukaan meja makan yang awalnya berbentuk persegi, sekarang berubah menjadi persegi panjang

2. Ada selusin anak dibawah umurku sedang duduk di sana.

Aku berdeham. Di belakang, Tom meremas tanganku. Aku tidak yakin apa mereka mendengarnya. Lusinan anak itu membuat kericuhan yang tampaknya tidak menganggu ketentraman hidup siapa pun. Ada yang mengobrol dengan mulut penuh, ada yang memainkan makanannya dan ada yang membaca koran di meja.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang