Bab 14. Pelarian

87 12 10
                                    

Suara penonton riuh rendah di sekelilingku. Menunggu Sang Penari melakukan trapeze. Sang Penari? Julukan itu sama sekali tidak cocok denganku karena tidak akan ada menari. Jantungku berdebar. Papa mendorong punggungku. Mendekati pijakan tangga.

"Ayo, Nikki. Apa lagi yang kau tunggu? Tenang saja. Kau sudah melakukan ini puluhan kali," kata Papa tak sabaran.

Aku masih mengamati tangga. Kapan aku melakukan aksi nekat ini? Seumur hidup, seseorang bernama Nikki tidak akan mengambil risiko bunuh diri seperti ini.

"Tetap hati-hati, Nikki. Jangan terlena dengan ketenaranmu. Ingat apa yang sudah terjadi dengan sepupumu, Neo. Ia harus menggunakan kursi roda seumur hidupnya."

Sebelum aku sanggup menjawab, papa menarik pundakku. Kami berhadapan. Mata coklat papa balas menatapku. Ada kilat bangga di kedua bola matanya, sedikit rasa khawatir. Dua tangannya berada di pundak. Kecemasanku malah semakin menjadi-jadi. Semakin kuat rasa takut.

"Nikki, kau belum pernah segugup ini." Suara papa begitu defensif.

Dan sekarang adalah waktu yang sama baiknya dengan semua waktu lain untuk kabur. Papa terkejut. Jeda kekagetannya tak kusia-siakan untuk berlari sekencang-kencangnya. Keluar pintu karnaval. Melintas penjual popcorn. Melewati toko gula-gula kapas. Tawa anak kecil terdengar riang. Bahuku menabrak badut. Tubuhnya memutar nyaris kehilangan keseimbangan. Aku berteriak maaf dan karma langsung datang. Kakiku tersandung hula-hop yang tergeletak di sembarang jalan. Berguling jatuh dengan lutut yang lebih dulu menumbuk aspal. Tak kupedulikan rasa sakit yang menjalar. Berdiri dan berlari lagi ke pintu keluar. Aku harus mencari Tom.

"Hei, hati-hati kalau jalan!" Seseorang memekik.

Evo! Aku tercengang tak percaya. Dari kejadian demi kejadian hanya Evo yang selalu kutemui. Hanya kali ini rambutnya jabrik berwarna merah. Tapi, sepertinya ia tak mengenalku. Namun ketika hendak lari lagi, Evo mencengkram pergelengan tanganku.

"Kenapa terburu-buru? Mau main komedi putar bersama?" tanya Evo ceria.

"Lain kali saja!"

Aku tak menunggu jawabannya. Melambaikan tangan pergi. Bisa kurasakan mata Evo masih menatap punggung.

Gerbang depan.

Sekarang, aku tak yakin apa yang harus kulakukan. Aku sudah membaca peta di salah satu pintu masuk. Ada pengumuman gerbang depan ditutup untuk atraksi. Tidak diberitahu atraksi apa, tapi aku harap Tom tidak menjadi salah satu bagian dari hal itu.

Seseorang berdeham. Aku menoleh dan melihat Evo. Ia lagi! "Kau mau ke gerbang depan? Lewat sini yang lebih mudah."

Dari mana ia tahu? Aku bahkan belum memberitahunya. Tapi, tak ada waktu lagi untuk bertanya. Kami berlari menuju utara, berbelok arah agar masuk gerbang depan tanpa perlu melompat pagar. Evo seolah sudah mengetahui seluk beluk tempat ini. Terbukti dari peringatannya.

"Hati-hati di jalan ini. Sedang ada pertunjukkan hantu."

Dan benar saja. Hantu perempuan sedang tertawa cekikikan di atas pohon. Entah apa yang ia tertawakan. Namun, lebih merinding lagi kalau aku tidak sampai bertemu dengan Tom. Jadi, aku tetap berfokus pada tujuan pertama.

"Belok kanan. Di kiri sedang ditutup untuk perbaikan."

Aku mulai mengatakan sesuatu, bahwa ia terlalu banyak tahu. Sesungguhnya itu bagus, tetapi kali ini terdengar mencurigakan. Tapi, Evo langsung menarik tanganku untuk berlari lebih cepat.

"Nikki!"

Suara papa!

"Siapa yang mengejarmu?"

Nah, hal ganjil lainnya. "Papa," jawabku singkat.

"Setelah ini belok ke kiri. Di sana satu-satunya tempat untuk masuk selain gerbang depan. Biar aku yang menghalangi." Nada Evo terdengar berkonspirasi. Tapi, aku tidak tahu apa untungnya buat ia.

Aku berbelok ke kiri sesuai petunjuk Evo. Ia sudah tidak mengikuti berlari, sedang mencoba menghalangi papa agar tidak berhasil menangkapku.

"Tom!" Aku berteriak begitu sampai. Tidak ada yang menoleh. Terlalu ribut di depan. Suaraku terbenam teriakan, tawa dan pembicaraan orang.

Berjinjit untuk melihat lebih detail. Tetap tidak kelihatan. Tertutup kerumunan orang. Aku menaiki salah satu tiang penyangga, membentuk corong dengan tangan, mendekatinya ke mulut dan berteriak lebih kencang. Tindakan yang tidak sia-sia, karena Tom sedang melambai-lambaikan tangan. Ia berada tujuh puluh yard dari tempatku berdiri. Dengan gerak ekspresif, aku menyuruhnya menghampiri. Tapi, ia menunjuk-nunjuk ke tangan. Tidak terlalu jelas. Namun, aku berasumsi tangannya sedang digandeng. Aku dengan gerak yang tak kalah panik segera menyuruhnya lepaskan gandengan itu.

Tom menurut. Aku melihatnya berusaha. Namun tidak mendengar alasannya. Semenit kemudian ia berlari menghampiri. Tepat saat itu, aku melihat dua orang berlari mengikuti langkah Tom.

"Nikki, aku—"

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Ayo, Tom. Kita sedang diikuti," kataku sambil berlari menggandeng tangannya.

Tom terbelalak. "Siapa yang mengikuti?"

Aku tidak menjawab. Kami berlari melintas kerumunan orang-orang. Bukan pekerjaan mudah. Semua saling menghimpit, mendorong dan membuat kehabisan napas. Sorak-sorak terdengar makin keras. Disusul jeritan gembira.

"Lewat sana!" kataku. Tom mengangguk.

Kami berlari seperti orang kesetanan. Tahu mau ke mana. Tapi, belingsatan mencari jalan untuk mengecoh. Aku tidak ingin sampai mereka mengikuti kami ke rumah. Meski orangtuaku bukan orangtuaku yang sesungguhnya. Aku tidak ingin mengajak mereka masuk dalam bahaya. Tom kehabisan napas di gang sempit. Megap-megap.

"Tunggu, Nik!" Tom merunduk. Kedua tangan bertumpu pada lutut.

Aku menepuk pelan punggungnya. "Kita... tak... punya... waktu... lagi." Napasku memburu, kepala pusing dan mual.

Tom bersandar pada dinding. Meminta istirahat. Sebelum aku sempat protes, ia sudah bertanya, "Siapa sih mereka?"

"Mungkin orang yang sama seperti sebelumnya," kataku ketika berhasil mengatur pernapasan.

"Ini gila!" Tom berteriak. Aku melihat pori-pori kulitnya bermekaran diantara keringat. "Kita tak bisa terus lari begini. Kita harus beri pelajaran pada Polisi Waktu itu!"

"Kita tak punya waktu untuk hal seperti itu. Ayo, kita pergi!"

Kami beranjak dari gang sempit. Ujung gang ternyata hanya ada tangga. Tidak ada jalan keluar lagi. Mau tak mau, kami menaiki tangga. Bunyi derap langkah kaki terdengar di belakang.

"Itu mereka!"

"Cepat!"

Aksi melarikan diri kami pun berlanjut. Melewati tangga ternyata rumah-rumah sewaan, dicat hijau seluruhnya. Bertingkat. Tidak ada perbedaan dari satu pintu, ke pintu lainnya. Tidak ada orang di sekitar sini. Sibuk dengan festival tadi. Bayang-bayang orang yang mengejar kami semakin dekat. Tidak akan sempat hanya dengan berlari. Kulihat teralis menggantung dan melekat di sudut perumahan. Menuju atap. Lebih baik dibanding menyusuri celah sempit begini.

"Tom, lebih baik kita memanjat."

Tidak ada sahutan dari arah belakang. Aku berbalik. Tidak ada Tom.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang