Bab 2. Hilangnya Tom

278 38 20
                                    

"Jadi, apa yang sebaiknya kita bakar agar mereka segera pulang?" tanya Tom sambil tertawa kering.

Aku mengangkat bahu, enggan memberikan ide nekat. Rasanya tidak menyenangkan berdiri di rumah yang tak kusukai, menunggu orangtua pulang meski tahu masih lama. Sore mendesak di sekeliling dan keheningan memekakkan telinga. Percaya tidak? Rumah ini usang. Di tengah rawa pula. Papa tidak ingat punya keluarga bernama Paul. Mama pun begitu. Tapi mereka tetap tega meninggalkan kami sendirian di sini!

Pendeknya, tak ada hiburan apa pun di sini. Saat aku bilang tak ada itu artinya benar-benar tidak ada. Tak ada televisi, radio, telepon, PS 2 dan komputer. Masa remajaku benar-benar suram di sini. Seminggu tidak ada remaja seusiaku yang lewat. Logisnya, mana ada orang yang berpikir ada manusia tinggal di tengah rawa? Jadi, aku ingin nangis setengah mati saat memikirkan hal tersebut. Dan sekarang tidak ada yang bisa kulakukan di sini. Biasanya mama dan papa akan memasak, dan mengajariku sedikit-sedikit. Meski masakanku akan berbentuk aneh, seringnya kurang asin atau kemanisan, dan kadang gosong, papa tetap berbaik hati memujiku. Ia tak keberatan memelukku meski banyak tepung di wajah. Tetap bilang lezat meski tahu masakanku rasanya luar biasa hancur. Sekarang, aku bertanya-tanya, ke mana papaku yang dulu?

Tom tak lagi berdiri di sampingku. Aku beranjak dari pekarangan dan duduk dekat Tom di teras. Rupanya ia sedang membaca. Novel yang pernah dibacanya dulu, sekarang di baca lagi. Tom penggemar novel dan komik bergenre horor. Tapi, jangan sangka ia pemberani—ia selalu ngeri sendiri sesudah selesai membacanya.

Aku menghela napas. Kupikir kami benar-benar bisa mati kebosanan di sini. Aku memperhatikannya. Tom selalu serius membaca bahkan mungkin saja tak akan menyadari bila dunia runtuh. Itu yang membedakan kami. Sedikit saja ada orang yang dekat-dekat saat aku membaca, pasti langsung terganggu.

Kacamata Tom merosot di hidungnya. Ia segera mendorongnya ke atas lagi. Tak ada yang bisa kulakukan jika tidak ada Tom. Untunglah ia tak ikut pergi. Aku menarik novel yang sedang dibacanya.

"Ya ampun," gumamku ketika membaca judulnya. "Serangan Malam Sabtu? Mau-maunya sih kau baca sampah seperti ini?"

"Ini bukan sampah!" balas Tom. "Novel ini asyik sekali. Jauh lebih seru daripada kumpulan perangko di album bukumu."

Aku memutar kedua bola mata. "Ceritanya tentang apa sih?" tanyaku sambil membalik-balik halaman. Menandai halaman yang Tom baca dengan jari.

"Tentang invasi hantu, ketuanya Raja Bion yang ingin menguasai bumi. Membuat jebakan-jebakan yang membuat manusia punah. Jadi, mereka bisa menguasai planet ini seorang diri," jelas Tom. Ia merebut novel yang kupegang.

Aku ingin sekali terbahak mendengar ceritanya. Hantu memiliki raja dan ingin menguasai bumi? Omong kosong. Benar-benar sampah. Heran sampai Tom tertarik membacanya. Tapi, melihat antuasias dan gemericik riang dari bola mata Tom, aku pura-pura menikmatinya. "Lalu, apa yang terjadi setelah itu?"

"Jiwa-jiwa manusia yang tak bersalah akan terjebak di dunia gelap. Hanya orang terpilih yang harus menyelamatkan jiwa tak bersalah," suara Tom mulai bergetar. "Namun orang itu tak pernah ada, manusia perlahan musnah karena bersatu di dunia gelap. Sampai Raja Bion semakin kuat untuk mengambil alih bumi." Tom bergidik. Ia memandang langit.

Hari memang sudah mulai gelap. Bayangan pepohonan semakin panjang dan pudar. Tapi, aku suka melihat wajah Tom. Keringat dinginnya mengalir dari dahi ke pipi. Hidungnya kembang kempis. Irama napasnya pun tertahan. Serius sekali menjiwai isi buku. Dan itu membuatku berusaha memancing Tom untuk bercerita lebih banyak lagi. "Bagaimana cara mereka menyelamatkan diri?"

"Tidak ada yang selamat. Orang dewasa bahkan anak-anak tidak pernah ada lagi," kata Tom nyaris berbisik. Suaranya kalah saat beradu dengan angin.

Aku tak bisa lagi menahannya dan seketika meledak tertawa. Sadar sedang diejek, Tom menghentakkan kaki, masuk ke dalam rumah. Aku masih tertawa geli di teras. Hingga suara-suara gemerisik dari rawa menghentikanku. Aku memicingkan mata, tapi tidak bisa melihat apa-apa. Mungkin hewan.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang