Bab 22. Efek

71 13 0
                                    

Aku terbangun oleh suara familiar. Memanggil dengan samar. Nikki, bangun. Nikki, bangun... Awalnya aku tidak memikirkannya. Lalu sadar bahwa Penjaga Waktu baru saja datang ke kehidupanku. Aku langsung terjaga penuh. Duduk tegak di ranjang dengan perasaan kalut. Apa yang kulupakan? Segala hal masih kuingat dengan jernih. Jelas ini merupakan pertanda bagus. Hingga akhirnya aku menoleh dan mendapati senyum Evo.

Evo sedang duduk di bangku kayu yang menempel dengan ranjangku. Wajahnya terlihat bahagia tapi belum seutuhnya melunturkan raut cemas. Ia beringsut mendekat dan mengusap-usap kepalaku hingga terasa janggal. Aku menjauhkan kepala dari jangkauan tangannya.

"Hai," sapanya riang. Ia melengkungkan senyum yang nyaris serupa simpati.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Semua baik-baik saja," jawabnya, dan ia menyerahkan segelas air mineral padaku. Aku meminumnya sedikit dan mengembalikan lagi.

Aku terlalu muak dengan segala hal karena terlihat tidak ada yang baik-baik saja di sini. "Evo, ada apa?"

"Serius, tidak ada apa-apa." Ia berdiri dan hendak keluar dari kamar. Aku tahu gestur menghindar oleh orang yang tidak ingin membicarakan sesuatu. Evo berbalik badan saat daun pintu yang terbuka, menggaruk kepala. "Ia nyaris mengapus seluruh ingatanmu. Kau masih ingat kenapa ada di sini, kan?"

"Untungnya masih. Apa yang kau lakukan untuk menolongku?"

"Membantumu. Jika kau kehilangan seluruh ingatan, maka semua akan berakhir," jawabnya defensif.

Kalimat Evo mengingatkanku pada kekuatannya. "Kau bisa menghentikan waktu, kan? Dari mana persisnya kau mendapat kekuatan itu? Apa berguna untuk melawan Penjaga Waktu?"

Evo tertawa kering. "Melawannya? Pilihan kata yang sangat memotivasi. Aku mendapatkannya dari seseorang. Ia memberiku kekuatan ini. Tidak terlalu berhasil untuk melawan, tapi setidaknya aku mampu menyamakan gerakannya. Aku punya nasihat untukmu, jika ia berlari, kau juga harus berlari menghindar darinya. Sekarang, kau beristirahat saja."

Aku mengempaskan tubuh ke ranjang. Memikirkan tentang probabilitas. Bertanya-tanya apakah Tom baik-baik saja di sana sementara aku di sini. Ia pasti sudah menggigil ketakutan dan agak marah. Menganggapku sebagai pengecut yang menyelamatkan diri sendiri, atau tidak bertanggungjawab karena menempatkannya dalam posisi seperti ini. Mungkin juga keduanya. Aku terlelap dengan pemikiran itu.

Tiga jam kemudian, aku bangun karena suara ketukan pintu. Dengan gerak seperti orang mabuk yang kepayahan, aku membuka pintu dan mendapati wajah Evo dengan senyuman khasnya. Matanya berkilat.

"Kau belum makan, mau mencoba masakanku?" tanyanya ceria.

Aku tidak terlalu lapar. Namun perutku berbunyi untuk mengingatkan. Harum masakannya sampai ke kamar. Ia masih memakai celemek polkadot biru. Sangat kontras dengan kemejanya yang digulung sampai ke siku. Melihat ekspresiku, ia menarik tanganku ke meja makan. Segalanya sudah tersedia seolah ia tidak memikirkan kemungkinan kalau aku menolaknya.

Ia membuat sup sayuran dengan potongan daging. Terlihat lezat bersama sebongkah nasi. Jadi tak ada pilihan selain menikmati makanan itu. Evo makan setelah aku mulai menyuap. Memberi komentar bahwa ia pandai memasak, dan cocok menjadi bekerja sebagai koki jika selesai dari segala kekacauan ini. Ia hanya tertawa.

Aku menarik salah satu rambut yang terselip di kelopak mata. "Jadi, setelah ini apa yang akan kau lakukan?"

Evo bersandar santai pada kursi sambil meletakkan minuman. "Melakukan rencana yang besar. Kau tidak akan percaya jika aku ceritakan. Lebih baik kau ceritakan tentang kehidupanmu."

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang