Bab 13. Sang Penari

99 14 4
                                    

Ada cakar yang merobek kulit punggungku!

"Tolong! Tolong!"

Aku melompat berdiri, tersandung paha Tom yang sedang duduk dan kening lebih dulu menabrak dinding. "Aduh!"

Sebelum Tom sempat memegang pundakku, daun pintu terbuka lebar dan membuat Tom terhuyung-huyung mundur.

"Siapa yang tadi berteriak minta tolong?" Suara menggelegar itu menciutkan nyaliku. Meski aku tahu tidak melakukan kesalahan apapun. Tom melongo di tempatnya berdiri. Kami tidak menjawab. Lebih tepatnya takut untuk menjawab.

"Nikki! Tom! Sudah berapa kali aku bilang untuk tidak berlama-lama di kamar. Ini sudah hampir jam makan siang. Tiga jam lagi sebelum pertunjukkan!" Orang itu memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh sentimeter dengan perut terbuncit untuk ukuran laki-laki. Tapi, tak apa, lengannya agak kekar. Matanya berpaling ke arah lain. "Nah, sejak kapan kau menjerit melihat Bruno?"

Aku menoleh ke arah binatang yang melompat ke pundak orang itu. Seekor monyet kecil dengan bulu-bulu rapi. Kelihatannya, hewan itu peliharaanku.

Aku mendelik. "Ia melompat ke punggung sekalian merobek kulitku."

Orang itu tertawa menggelegar. "Kau belum pernah takut dengan Bruno. Ini kan hewan peliharaanmu dua tahun lalu, Nikki. Ini pasti karena kau gugup untuk pertunjukkan. Jadi, lebih baik kita makan saja dan langsung berangkat. Jangan terlalu dipikirkan. Ayo, Tom. Kau juga butuh gizi untuk tubuhmu."

Sebelum aku sempat protes, ia menarik tanganku. Telapak tangannya yang kasar dan kapalan menggores kulitku. Dan saat turun tangga, aku baru sadar bahwa pakaiannya ajaib. Celana menggelebung, sebelah berwarna merah dan sebelah berwarna biru. Atasannya tak kalah aneh, percampuran warna koral, turquise dan rumbai-rumbai. Digenapi dengan topi laken di atas kepalanya.

Tom mengikuti di belakangan. Tangannya sedari tadi memainkan keliman baju. Matanya memberi isyarat agar aku kembali ke kamar. Tapi, bagaimana caranya kembali jika tangannku dipegang erat begini? Ia hanya mengembuskan napas lelah.

Di meja makan, kami disambut dengan lebih banyak orang berpakaian aneh. Tragedi memiliki adik banyak sepertinya terulang lagi. Riang mereka berlari sana-sini dalam satu ruangan. Tapi, setelah dihitung-hitung mereka hanya bertujuh bukan dua belas lagi. Dan ada seorang perempuan dengan potongan rambut suburban bubble menyuruh aku dan Tom duduk. Aku sangat bersyukur masih ada yang terlihat waras di sini.

Inilah keluargaku yang baru. Memikirkan itu saja membuat perutku mulas. Aku mengecek pakaian sendiri, melirik pakaian Tom. Untunglah kami tidak perlu repot-repot memakai baju ajaib seperti mereka. Perempuan yang kuyakini sebagai ibuku membagikan nasi goreng dengan buru-buru. Bruno melompat di meja, mengambil setiap pisang yang terletak di tiap samping piring. Aku melongo menyerap informasi ini.

"Jangan bengong doang, Nikki. Makananmu habis dimakan Bruno." Mama memperingati.

Aku terpekik ketika wajah berbulu duduk di samping mejaku dengan mulut penuh makanan. Astaga, apa setiap makan aku selalu bersama seekor monyet? Kacau sudah.

"Nikki, kenapa kau belum berganti baju?" tanya seorang anak perempuan berkuncir sepuluh di seberang meja.

"Eh... Ini karena..."

"Nikki akan memakai baju kebangsaannya nanti di festival. Baju baru, kejutan untuk penonton, Syra," kata Papa sambil tersenyum memperlihatkan gigi.

"Oh, yeah, si Putri Sirkus," sindir lelaki dibawah satu tahun umurku dengan tatapan meremehkan.

WHAT? Sirkus? Aku hidup dengan keluarga sirkus? Astaga, pantas baju mereka semua aneh. Ada monyet pula. Aduh, aku menyesal tadi tidak berbalik pergi ke kamar bersama Tom. Serangkaian detak jantungku tidak memberi ide brilian. Baru setelah melihat Bruno aku mendapat ide. Ambil makanan lagi ke piring, Bruno akan memakannya, aku ambil makan dan mengeluh lapar, Bruno akan memakannya lagi dan aku akan sangat lamaaa untuk makan saja. Ide bagus.

"Kalau kau tidak buru-buru, semua makananmu akan dimakan Bruno." Mama kembali memperingati.

Aku membalas dengan anggukan. "Kalau begitu, biar aku masak lagi."

"Tidak ada sisa nasi, Nikki. Kau tahu kan uang hasil pertunjukkan untuk membeli mobil rongsokan," kata Mama sambil melirik tajam ke arah papa.

Papa yang merasa dihakimi mengelak. "Itu bukan sampah. Truk kita kan untuk menyimpan perkakas sirkus. Mobil untuk senang-senang," katanya.

"Pa, mobil itu bahkan habis akinya," lelaki yang tadi menyindirku tampak membela mama, "bagaimana cara untuk bersenang-senang?"

"Tenang, Nak. Upah pertunjukkan Nikki akan mengakhiri kesulitan kita semua," jawab Papa diplomatis.

Apa maksudnya?

Jawaban itu baru aku temukan setelah berangkat. Selama perjalanan yang tak kalah ramainya seperti di meja makan, Papa menyuruhku membongkar kado di dalam tasnya. Aku tahu ini isinya pakaian karena empuk ketika tanganku merabanya. Lucu sebenarnya ketika papa repot-repot membungkus pakaian dengan kertas kado, yang akhirnya akan dirobek juga. Aku sarkastik? Tentu saja, bahkan setelah melihat pakaiannya. Mataku melotot tak percaya, baju ini mirip pakaian renang. Atas dan bawah saling terhubung. Berwarna merah terang. Ditambah ukuran ini kecil sekali, pasti sesak memakainya.

"Kau akan memakai baju itu setelah kita sampai sana," kata Papa sambil bersenandung menyetir mobil truk.

Aku menghela napas panjang, menatap pantulan diriku di balik spion. Beruntung aku duduk di depan. Sementara anak lain, Tom dan mama duduk di belakang untuk bersiap. Entah bersiap untuk apa.

"Nikki, sang penari," teriak Papa dengan intonasi semangat. "Semua orang memanggilmu Sang Penari walau kau sedang tak menari."

Aku tercenung mendengarnya. Sang penari?

"Kau akan memakai trik luar biasa hari ini, seperti hari kemarin yang kau kuasai. Trapeze itu memang panggilan jiwamu, ya? Hebat, Nak," katanya bangga.

Saat mendengar itu, aku ingin melompat keluar truk. Aku menjadi pemain trapeze? Makin rumit saja. Tapi, melompat tak menyelesaikan masalah, Tom tertinggal. Mana mungkin meninggalkan ia begitu saja. Aku mengerang. Untung papa tidak memperhatikan.

Ketika berhenti di depan gerbang, aku melompat turun dari truk. Tapi, lagi-lagi tanganku dicegah papa. Ia menarik tanganku dengan raut wajah heran. "Mau ke mana, Nikki? Kita harus bersiap di karnaval bagian sebelah. Ini kan buat adik-adikmu. Tenang saja, Tom dan Mamamu akan menjaganya."

Aku ternganga ketika mobil bagian belakang bergoncang-goncang ribut. Lewat kaca spion, aku melihat orang-orang tumpah keluar. Tom salah satunya. Ia bergerak lambat sekali, berusaha menolak. Tapi, akhirnya menurut. Kepalanya sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menoleh ke arahku. Ketika melihat lambaian tangan mama dari spion, papa menjulurkan tangan memberi tanda dan kembali berkendara.

Usai memakirkannya, papa mengajakku ke kamar mandi, menyuruhku berganti pakaian. Ia menunggu di luar sambil menyapa orang-orang. Aku berganti baju dengan cepat. Sesuai dugaanku, baju melekat di tubuhku, seolah aku hidup dengan pakaian ini. Setelah keluar, papa geleng-geleng kepala melihat penampilanku.

"Sesuai julukanmu. Kau memang sang penari," katanya sambil menjejalkan baju biasaku ke dalam tas dan menggiring ke belakang panggung.

Banyak sekali pertanyaan yang berlarian dalam benakku. Namun, seketika lenyap saat melihat tangga tinggi. Ada papan untuk menyanggah. Dan tali yang berayun-ayun di atasnya. Pertunjukkan mengayunkan tubuh yang tadi papa sebut trapeze. Berakhir sudah hidupku.

"Ayo, Nikki. Naik ke sana! Tunjukkan kemampuanmu pada mereka," kata Papa sambil mendorong tubuhku mendekati tangga.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang