Bab 9. Dunia Baru

174 23 4
                                    

Aku punya pandangan berbeda tentang permainan menjengkelkan ini. Tapi belum dikatakan langsung ke Tom karena untuk sesaat aku bersyukur ia masih mau memilih jalan yang benar. Awalnya aku ragu, Tom akan menerima kehilangan orangtuanya sekali lagi tanpa ekspresi, namun aku juga sadar bahwa diam lebih menyakitkan dari segala jenis perasaan yang akan Tom ungkapkan. Jadi, 1. Aku memperhatikan detail semua petak isi papan, 2. Menerka-nerka apa yang harus dilakukan agar sampai finish, dan kemudian, 3. Aku melihat ujung empat sisi papan itu dan mengetahui bahwa tidak ada finish di sini, 4. Aku merasa sedang berputar-putar di labirin buntu. Tidak tahu cara agar kami keluar dari ini semua.

Rasanya aneh ketika mempermainkan permainan yang bisa membawa kita menjelajah waktu. Semacam tinggal di dunia pararel, beberapa hal terlihat sama. Tapi, ternyata tidak. Selalu ada bagian yang berbeda. Misalnya, aku punya adik selusin. Papaku masih hidup. Mama Tom masih hidup. Tidak ada perceraian dan segalanya terasa menyenangkan. Bahkan orang-orang tidak merasakan perbedaan. Mereka menjalani hari-hari biasa saja seolah memang begitu waktu berjalan. Seperti sekarang, Tom sedang menelpon nomor ponsel orangtua kami.

"Aku akan menelpon mereka. Mereka harus tahu keadaan kita," begitu kata Tom. Sebelum aku sempat bertanya apa ia ingat dua belas dijit nomor itu, dan Tom menekan-nekan nomor di telepon. Sebelum aku sempat sadar bahwa kamarku, kamar Tom, tidak ada di antara kamar kami yang punya telepon rumah. Lambatnya proses interupsi dariku, membuat telepon terangkat lebih dulu dan Tom mengatakan "Halo".

"Ma, ini aku Tom," kata Tom. Ia geleng-geleng kepala. "Tom Window, masa tidak kenal?"

Aku tidak tahu apa jawaban di ujung telepon, tapi Tom bilang, "Aku anakmu!"

Mungkin respon orang di seberang sana tidak baik sehingga Tom perlu berteriak. "Aku—tapi... aku anakmu..." suaranya seperti tikus terjebak perangkap hendak meloloskan diri, yang akhirnya Tom meletakkan gagang telepon dengan lesu.

"Ia tak mengenaliku," imbuh Tom dengan nada sedatar mungkin. Meski kuyakini di dadanya sedang terjadi badai.

"Masa sih? Tapi, mereka kan—"

"Mereka tidak pernah punya anak bernama Tom Window," Tom memotong.

Aku meraih telepon. Tom memberi tahu nomornya. Tugasku menekan-nekan nomor telepon. Lalu, mendekatkan speakernya di telinga. Awalnya hanya dengungan menyebalkan. Dua menit kemudian ada yang mengangkatnya di seberang sana. Entah bagaimana rupanya.

"Halo."

"Siapa ini?" sahut perempuan itu ketus.

"Window. A—"

Terdengar suara mendesis. "Aku bukan jendela!"

Aku nyaris terbahak jika ini bukan masalah serius. "Bukan. Maksud saya, Anda Karren Window," menyebutkan nama mama mungkin akan membuatnya ingat, "aku Nikki Window."

"Aku bukan Karren Window! Aku juga tidak punya anak bernama Nikki!"

"Mungkin Anda melupakan sesuatu. S—"

"Aku tidak lupa apa pun!"

Belum juga aku membalas, ia sudah menutup telepon. Tidak punya sopan santun. Padahal aku yang menelpon, tapi ia yang memutuskan saluran.

Aku mencoba meneleponnya lagi. Suara perempuan yang sama menyahut.

"Hai. Apa Anda yakin bukan Karren Window?"

"Sial. Kau lagi!" Perempuan itu mengumpat.

"Saya mau tahu apa ada keluarga Anda yang bernama Window?"

"Aku tidak punya keluarga bernama Window. Awas kalau kau menelpon lagi!"

Telepon tertutup. Keheningan menyelimuti kebisuan aku dan Tom. Bibirnya gemetar. Keringat dingin menjalar keluar dari pipinya.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang