Bab 16. Jurnal

95 12 7
                                    

Maaf saja, nyawaku cuma satu dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya dengan naik ke tangga dan melompat. Biarkan orang lain saja yang melakukan trapeze

Aku berhasil kembali ke tenda belakang. Menerobos. Keluar tenda dan mengikuti intuisi untuk ke tempat bersembunyi Tom.

"Tenang. Pasti berhasil," gumamku sambil berlari.

Beruntung aku melihat atraksi orang di dalam tangki air. Jalan yang benar. Aku menyusuri jalanan kembali dengan semangat. Berhenti di gang sempit, memanjat besi tangga perumahan hingga sampai dipuncak dan panik melanda. Di sebelah atap mana tadi tempat Tom bersembunyi?

"TOM, INI AKU!" Aku berteriak.

Aku mendengar langkah kaki mendekat. Menoleh ke belakang dan melihat Tom sedang berjalan ke arahku. Aku menghela napas panjang dan menghampirinya. Ia terlihat acak-acakan dan gemetar. Kasihan. Ini gara-gara aku. Hidupnya terancam bahaya karena ajakanku untuk bermain.

Tom meraih tanganku. "Lama sekali. Ke mana saja? Aku kira kau tertangkap."

"Nanti saja bahasnya," jawabku.

Kami menyusuri atap dengan hati-hati. Menghindari seng karatan. Orang yang mengejar kami tak lagi terlihat sesaat akhirnya kaki kami menyentuh aspal. Tom berjalan tepat di belakangku. Kembali bergabung dengan kerumunan karnaval yang mulai berkurang karena jam makan siang

"Itu mereka!"

Tanpa kusuruh, Tom berlari beriringan denganku. Bahkan untuk mewujudkan membeli minuman saja aku tidak bisa. Tom melebihi langkah lariku. Orang ketakutan ternyata punya energi dua kali lipat dari biasanya. Berlari di belakangnya, aku baru sadar bahwa Tom memakai tas. Seingatku ia tidak membawa tas atau peralatan apa pun. Tas yang dikenakannya terayun-ayun mengikuti ritme tubuhnya.

Aku ingin bertanya tas siapa di pundaknya itu. Tapi, rasa lengar kembali hadir. Sebagian ingatanku saat berangkat sekolah bersama Tom seakan menguap. Ini bukan pertanda baik.

Kami memelesat melewati toko mainan. Melalui tiga anak kecil yang berseru kecewa di depan claw machine. Menerobos orang-orang yang makan es krim sambil mengobrol. Melewati seorang anak yang berpakaian badut. Pertunjukan pantomim. Sepasang kekasih yang sedang mencoba sepeda roda satu.

Hingga kami berhenti di food court. Banyak orang yang sedang bersantai-santai sambil mengunyah pizza. Ada yang duduk dan berbicara. Ada yang menunduk karena sibuk dengan ponsel. Beberapa sedang berdiri memilih makanan.

Tidak ada pilihan selain membaur bersama mereka. Tom menunjukkan salah satu bangku kayu di sudut jalan setapak ke arah food court. Aku mengikuti langkah lebarnya. Mengempaskan duduk di sana dengan napas tersengal. Tom mengusap peluh. Kami duduk dalam keheningan.

Lucu sebenarnya jika ini terjadi. Dan seringnya terjadi pada kami. Bisa berada dalam kehidupan yang berbeda-beda dengan identitas sama. Mereka mengenal Nikki dan Tom. Tidak ada yang menyadari keganjilan jenis apa pun seolah memang begitu yang seharusnya terjadi. Aku meluruskan kaki. Apa yang sekarang akan aku lakukan? Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Merogoh saku celana dan menemukan beberapa keping uang. Lumayan.

"Aku haus," kata Tom.

"Ya. Aku akan membeli minum. Kau tunggulah di sini. Jika aku tidak kembali dalam lima menit, larilah Tom. Di mana pun dirimu, aku berjanji akan mencarimu," kataku.

"Kenapa kita tak bersama saja?" tanya Tom beranjak berdiri.

Aku menggeleng. "Jika mereka mengejarku. Kau punya kesempatan untuk lari dan menyelamatkan diri."

"Jangan lama-lama dan jangan bertindak bodoh," kata Tom sambil membersihkan kacamata.

Aku bergegas menyusuri food court mencari minuman murah. Bukan urusan mudah. Harganya tidak ada yang murah. Mau tak mau aku berjalan menjauh dari tempat duduk Tom. Punggungnya terlihat semakin mengecil. Ternyata sirkus seperti ini. Mendapat bayaran mahal untuk satu pertunjukkan jika sudah terkenal. Sama mahalnya dengan makanan di sini.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang