Bab 12. Pemburuan Jilid I

109 17 6
                                    

Pustakawan itu menyerahkan beberapa buku yang bisa kubaca sebelum kembali ke mejanya. Lima buku nyaris setiap bukunya dua kali lebih tebal dari kamus. Kakiku yang sedari tadi bergetar hampir saja membuat buku-buku jatuh berserakkan. Tapi, gravitasi seolah menolak hal tersebut, karena Tom langsung hadir memegang sebagian buku. Wajahku mungkin saja nyaris tak terlihat jika menumpuk buku ini di tangan sambil berjalan.

Kupikir makhluk-makhluk mistis hanya sebuah dongeng belaka. Namun, nyatanya ada makhluk mistis yang baru saja aku bangunkan. Hal yang tak kumengerti, dan berada tepat di dalamnya. Berperan menjadi tokoh utama dalam cerita penuh kepalsuan. Kini aku bertanya-tanya jika aku pulang ke rumah mungkin saja Penjaga Waktu sedang di depan pintu rumah dan berkata, "Sudah waktunya." dan aku meninggalkan Tom dalam dimensi yang bukan miliknya.

Jangan pernah mengacaukan tatanan waktu. Atau Penjaga Waktu yang akan mengacaukan hidupmu, kalimat itu menempel di selaput otakku, memandu mengambil keputusan. Mataku nyaris berair jika saja tidak mendengar gebrakkan meja. Aku dan Tom mengikuti arah suara. Buku-buku masih dalam genggaman erat. Mulutku mengatup ketika mendengar adu mulut antar pustakawan dan seorang anak lelaki.

Emosi mereka begitu terasa sudah bertahun-tahun, namun Tom tidak mengizinkanku untuk melihat lebih lama hal seperti itu. Ia mengajakku pulang kembali ke rumah. Aku sempat berpikir untuk tidak pulang saja, tapi di lain sisi telalu lelah menjelaskan alasannya ke Tom. Jadi, ketika Tom menarik tanganku, aku menurut saja.

Kalau menunggu dijemput sepertinya hampir mustahil, jadi kami berjalan kaki ke rumah. Terseok-seok dengan buku yang berat. Telapak kaki terasa panas di bawah terik matahari, tapi matahari saja tidak cukup mengurangi rasa takutku ke Penjaga Waktu. Ia ada dan nyata. Mungkin sedang dalam perjalanan datang kepadaku. Mungkin juga menunggu waktu yang tepat. Tapi, apa arti waktu untuk Penjaga Waktu?

Aku berjalan melewati toko roti yang baru saja selesai memanggang. Aromanya mengingatkanku akan rasa lapar. Seketika perut berbunyi. Aku menepuk-nepuk perut sambil melangkah. Kali ini, Tom yang memimpin perjalanan ke rumah. Jujur saja, aku lupa jalanannya. Kemampuan naturalis Tom tidak akan meragukan. Ia bisa mengingat detail lokasi saat kami tersesat di bumi perkemahan pramuka tahun lalu. Jadi, kini aku biarkan ia mengambil alih perjalanan. Ketika hendak menyamakan langkah dengan Tom, lewat seorang anak perempuan yang berada di antara perempuan dan lelaki dewasa sambil berjalan beriringan. Ketiganya bergandengan tangan dengan tertawa lepas. Mendadak aku merindukan orangtuaku. Aku tidak akan keberatan mereka pindah rumah, atau bekerja seharian. Asalkan bisa bertemu kembali. Meski perlakuan mereka tidak menyenangkan, tapi mereka tetap keluargaku sesungguhnya. Ah, andaikata aku tak pergi ke loteng...

Tom merenggut lenganku, menarikku ke sisinya ternyata aku melangkah ke jalanan. Bibirnya bergerak-gerak. "Nikki, jangan bengong begitu. Ini jalanan asli. Bukan di dalam permainan."

"Sama saja. Akhirnya pasti tidak menyenangkan," aku memberi tahu dengan ogah-ogahan.

Tom berdecak. "Ada apa sih denganmu? Kau berharap tidak kembali ke loteng dan memulai permainan? Telat!"

Aku menyentakkan tangan hingga genggamannya terlepas. "Ya. Aku memang berharap begitu, lalu kenapa? Kau mau protes?"

"Ya! Aku mau protes karena kau membawaku dalam hidup seperti ini!" Tom menyahut dengan ketus sambil bersedekap.

Luncuran kalimat itu mendarat tepat di hatiku. "Kalau begitu berhentilah bermain denganku!"

"Kalau kau mau di sini. Ya, kau di sini saja. Aku tidak mau di sini—" Tom memelankan suara, berjuang mengatur emosinya. "Kau tidak bisa berpikir seandainya terus dan berharap terjadi. Saudara berbagi suka dan duka. Kalau kau terus menggenggam duka sendirian, bagaimana hubungan kita disebut saudara?"

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang