Bab 8. Perkara Tanggung Jawab

160 22 4
                                    


Sekarang, orang lebih mudah menyerah pada prinsipnya. Memilih jalan yang pragmatis. Itu nasihat mama ketika aku mendapat nilai empat di tugas matematika dan mendapat nilai seratus di hari ulangan matematika. Radar keibuannya begitu kuat meski aku sudah melonjak-lonjak menunjukkan nilai seratus tanpa memberitahukan bahwa aku mencontek. Apa yang salah dari melihat buku langsung? Toh itu termasuk kategori berusaha. Mencontek langsung dari teman yang pragmatis.

Ia juga selalu memarahi caraku menata isi tas. Menurutnya, buku tulis harus masuk ke dalam buku cetak, dan buku cetak masuk ke dalam LKS. Kotak pensil di sisi sebelahnya. Lalu, botol minum di sisi luar yang berjaring-jaring agar kalau tumpah bisa langsung kelihatan dan mudah ditangani. Kalau ia melihat isi tasku sekarang pasti langsung meledak. Tak pernah ia absen mengecek tatanan isi tasku seolah kalau sehari tidak melihat maka dunia akan pecah.

"Kerapian dan keteraturan adalah sifat dasar yang harus dimiliki setiap orang." Mama mengatakan itu sambil merapikan isi tasku. Aku tidak setuju hal tersebut. Tidak bisa manusia selalu teratur dalam segala situasi. Tidak bisa manusia selalu rapi setiap saat. Terbukti adanya banjir dan terlambat dalam kamus. Karena ketidakteraturan itu menunjukkan kemanusiaan. Mama tidak membantah, yang dilakukannya hanya mengusap kepalaku. Ia bilang saat aku dewasa akan mengerti hal semacam itu.

Ingatan itu yang menghentikan niatku pulang ke rumah. Kepalaku sakit dan kali ini berjongkok di pinggir jalan. Ingatan tentang mama datang dengan cepat dan meredup seiring hilangnya sakit kepala. Ada apa denganku? Pertanyaan itu yang bergaung ketika langkahku kembali ke sekolah. Apa Tom mengalaminya juga? Aku meragukannya.

Pak satpam tadi mengomel caraku izin pulang. Alasannya tidak realistis, katanya. Apa yang ia tahu tentang realistis? Ia tak tahu apa pun. Ia hanya fatamorgana hasil tindakkanku. Jadi, aku kembali masuk sekolah lewat pintu belakang. Lupakan soal rok. Aku selalu memakai celana dalam selutut. Kuangkat rok abu panjang itu dan dengan mudah meluncur di tanah. Jarak pagar dua meter dari kantin. Jadi, tak akan yang terlalu memperhatikan.

Aku akan meyakinkan Tom lagi. Percuma juga usaha susah payah yang kulakukan jika berhenti hanya karena tadi ia bentak. Semakin ia membentak, mungkin semakin aku giat memberitahu kenyataannya. Mungkin Tom akan jengkel, meradang dan bersumpah serapah. Mungkin aku akan mengalami stres. Intinya kemungkinan itu yang akan kualami. Lagipula bagaimana bisa aku menyerah jika setiap menit rasanya sebagian ingatanku lenyap? Bisa-bisa aku juga lupa kalau pernah mengenal Tom. Pikiran melayang-layangku baru berhenti tepat di depan kelas Tom dua jam yang lalu.

Segalanya menjadi lebih mudah jika aku langsung bertemu Tom di kelas tadi.

Kecuali, ia tak di sana.

Menjadi olahraga tak berarti jika aku naik turun tangga hanya untuk mencarinya. Kuputuskan untuk duduk-duduk di kantin. Sendirian bersama segelas jus jeruk asam, dan kira-kira untuk keduabelas kalinya aku melihat air yang meluruh dari tutupnya. Hal yang kulihat tak lagi sama. Keseluruhan yang terjadi terlihat ganjil dan aku cuma bengong di sini tanpa melakukan tindakan apa pun padahal satu menit lagi istirahat. Aku berdiri, siap mencari saudaraku.

"Nikki."

Suara dari arah belakangku. Ketika berbalik, Tom berdiri di sana. Tidak ada lagi wajah masam. Tidak ada lagi intonasi bariton. Sepenuhnya Tom adalah Tom. Orang yang telah lama kukenal.

"Aku percaya padamu," imbuhnya sambil menelusuri keliman seragamnya.

Aku mengangkat sebelah alis. "Percaya?"

"Ya. Aku percaya pada ucapanmu. Sepenuhnya," kata Tom menghela napas. Seakan yang akan dikatakannya akan mengguncang dunia. "Karena, aku merasa selalu ada yang kurang dari hidupku. Meski kedua orangtuaku masih ada. Meski prestasiku terbaik. Semua orang menyukaiku. Tapi, kau tidak Nikki. Sesuatu menjadi lebih jelas saat kita bertemu."

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang