Bab 17. Double Tom

65 13 2
                                    

Di antara banyaknya kemungkinan. Orang yang menulis jurnal itu Tom. Di antara manusia di bumi, Tom yang memberi peringatan

Ia berwajah sama seperti saudaraku. Posturnya yang kurus berkacamata dan memilih kombinasi pakaian yang aneh. Memakai jas namun bawahannya celana pendek. Tapi yang paling mencolok adalah mata sayu. Wajahnya muram, khawatir dan cemas. Tangannya tak berhenti mengorek tong sampah. Ia pasti mencari buku tersebut. Aku mengamatinya. Tom-saudaraku-bergerak, hendak menghampiri dopplegangernya.

Refleks aku menahan tangannya. "Hei. Apa yang kau lakukan?" tanyaku terkejut.

"Ia pasti punya jawaban. Ia pasti tahu jalan untuk pulang," kata Tom.

Aku menggeleng. "Jika ia tahu caranya, ia pasti sudah lama pulang. Bukan terjebak di sini dan menulis buku harian."

"Padahal aku sangat berharap ia tahu," katanya.

Aku juga berharap begitu. Aku berharap kalau lelaki di sana yang wajahnya mirip Tom memiliki tingkah kejeniusan lebih tinggi daripada kami. Sehingga apa pun caranya, kami bisa pulang dengan selamat. Tanpa Penjaga Waktu dan Polisi Waktu yang mengejar. Bahuku merosot, yang kuharap Tom tidak melihatnya. "Kita harus mencari cara sendiri."

Kulihat ekspresi wajahnya berubah jadi tidak bersemangat dan bercampur kecewa. Ia mendesah panjang. Tom bersandar pada dinding dan merosot. Duduk di bahu jalan. Beberapa orang yang lalu lalang memperhatikan kami. Hingar bingar suara karnaval dan beberapa musik penghibur terdengar sampai tempat aku berdiri. Aku memilih duduk di samping Tom. Merekatkan paha ke dada, dan memeluk kaki. Deru napas kami bersahutan. Keheningan menyelimuti sementara waktu.

"Apa lagi isi tasnya?" tanyaku memecahkan kebisuan.

Tom berpaling. Ia memindahkan tas dari pundak ke pangkuan. Membongkar. "Tidak ada apa pun. Eh... ada ini. Oh, foto. Hei, ini kau!"

Aku menoleh. Foto dua orang, Nikki dan Tom. Kami yang bukan kami. Tom membalik foto tersebut dan tulisan di sana membuat aku meringis. Nikki Window: Telah Hidup dalam Kedamaian. Tom melirik ke arahku. Seandainya tidak menyebabkan deviasi waktu, aku ingin mengajukan banyak pertanyaan langsung pada doppleganger Tom. Bahwa Nikki yang ia kenal berada dalam kedamaian dan di luar sana, ada seseorang bernama Nikki yang masih hidup dan sedang memperjuangkan kehidupannya agar kembali ke zona waktu yang sesungguhnya.

Di gang masih terdengar suara gemerisik plastik bergesekan. Kadang gumaman tak jelas. Kulihat Tom melirikku sambil memasukkan foto itu ke dalam tas. Juga bukunya. Ia menoleh. "Jangan membuatku takut. Kita akan pulang, kan?" tanyanya.

"Ya," jawabku cepat, menatap orang-orang yang lalu lalang semakin berkurang dengan harapan tidak ada air mata yang keluar. Aku tidak ingin menjadi sama-sama penakut bersama Tom. Salah satu dari kami harusnya saling menguatkan. "Kita pasti pulang. Semua akan baik-baik saja."

"Tapi kalau Penjaga Waktu datang dan ia mengambil seluruh..."

"Tidak," sanggahku, lebih keras daripada yang kuniatkan. "Kita akan pulang sebelum Penjaga Waktu itu datang. Atau Polisi Waktu menangkap kita."

Tom mengangguk, dan mendesah lega. "Tunggu sebentar," katanya.

Tom membawa tas dan berjalan memasuki gang. Aku tetap bersandar pada tembok dan bertanya-tanya. Bagaimana cara kami mengakhiri semua ini? Jangan-jangan seumur hidup, kami akan hidup melintas setiap kehidupan. Berlari-lari saat dikejar. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Aku menyusupkan muka ke kedua telapak tangan. Mengatur simpul emosi.

Perasaanku sekarang tidak karuan. Berapa banyak Nikki yang akan kutemui di setiap kehidupan lainnya? Kehidupan siapa yang telah kuhancurkan? Aku memerintah benak agar berpikir positif. Namun, hanya ada kemungkinan terburuk yang terlintas di otakku.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang