Bab 7. Kenangan yang Berserakan

184 23 12
                                    

Aku bangun dengan benak dipenuhi tentang Tom. Mendapati diriku menggelayuti pinggir ranjang dengan selimut tersingkap. Aku berpikir untuk berbaring di kasur, namun tak nyaman. Ada gejolak kemurungan yang diredam oleh ketidaktahuan. Kuputuskan untuk duduk di ranjang sambil berpikir. Mencari jawaban dengan terkantuk-kantuk.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Awalnya karena udara panas, namun setelah membuka jendela, mataku tetap nyalang. Jadi bukan itu masalahnya. Aku tidak bisa lelap karena masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Tom tak mengenalku? Pemikiran itu mirip serangga yang merayapi tubuh dan membuat ruam di dada. Tidak nyaman. Aku merasa seakan menjadi orang sengsara mencari jati diri.

Setelah kemarin Tom pergi begitu saja, kontrol akan diriku hilang. Aku tidak berusaha mencegah kepergiannya. Tidak berusaha menjelaskan secara rinci perkaranya. Tidak berusaha memanggil nama ia lagi meski aku ingin. Sepanjang perjalanan pulang sekolah sampai detik ini, aku hanya merenung. Renungan itu akhirnya membuahkan hasil menyedihkan. Tom tidak mengenalku karena orangtua kami tidak menikah. Tom tidak mengenalku karena kami bukan saudara. Tapi, kenapa aku mengenalnya? Kenapa otakku bisa memutar informasi yang sama persis seperti sebelumnya hubunganku dengan Tom? Pemikiran itu membuatku tercekik. Aku benci. Marah pada keadaan.

Kemarahan itu akhirnya bermuara pada papan permainan sialan. Aku mencari-cari di kolong tempat tidur. Lalu menyadari bahwa aku melakukan tindakan idot. Tentu saja tidak ada. Papan itu kan ada di kolong tempat tidur rumah yang baru. Menghabiskan waktu dua menit untuk berputar-putar di kamar. Mencari papan tersebut. Di laci meja belajar, lemari pakaian, balik lagi mencari di kolong tempat tidur, dan tidak menemukannya. Aku menendang kaki tempat tidur karena histeris bercampur frutrasi. Sedetik kemudian menyesalinya. Aku mengaduh-aduh sambil keluar kamar setelah mandi dan memakai seragam. Sakitnya menjalar dari ujung kaki ke otak, kemudian menyebar seluruh tubuh.

Rasa sakit itu terobati ketika mataku menangkap objek yang menyentak ingatan. Tangga. Arah menuju loteng.

Bagus. Aku bisa melanjutkan permainan dengan Tom

"Nikki, ayo sarapan!" Seruan dari dasar tangga.

Sebelum turun, aku memandang tangga tersebut. Aku akan naik nanti ke loteng untuk mengambil permainan itu, nanti. Dengan semangat, aku menuruni tangga dan melompat kembali ke pelukan papa. Keherannya ternyata tidak berkurang sedikit pun.

"Nik, ada apa denganmu? Memelukku seperti bagian rutin pagimu," katanya sambil melepas pelukan.

Aku mengangkat bahu. "Baiklah. Aku tidak akan memeluk lagi."

Papa tertawa. "Jangan. Aku suka," katanya.

Aku mendengus geli dan meletakkan tas sekolah di lantai samping bangku. Mama bolak-balik dari meja ke dapur untuk meletakkan makanan. Sejenak aku tak merasakan perubahan. Sedetik sadar bahwa mama berpakaian rapi. Blush hitam yang menutupi kemeja putih, diakhiri bawahan rok pendek selutut. Rambutnya dibuat agak keriting dan agak di blow bagian ujungnya. Aku hanya tersenyum-senyum sambil memperhatikannya hingga ia menyadari sedang diamati.

"Nikki, aku ada sedikit urusan di luar nanti," katanya memulai setelah ia duduk. Aku mendengarkan. "Agak lama. Bersama Papamu, jadi setelah pulang sekolah, kau di rumah sendirian beberapa jam. Tidak apa-apa, kan?" lanjut Mama. Papa memegang sebelah tanganku yang sedang menelungkup di meja meminta persetujuan juga.

"Ya. Ya. Memang mau apa sih?" kataku sambil berdiri mengambil sendok di rak piring

Papa menoleh ke arahku sambil tersenyum penuh arti. "Nanti kau juga tahu. Selama kami pergi kau baik-baik ya."

Kalimat itu tak langsung kujawab, karena tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Aku mencengkram meja, mencari pegangan. Sebelah tanganku refleks memegang pelipis. Sepotong ingatan tentang papa hadir di kepalaku dan membawa pada ingatan berikutnya. Memori saat papa memasak bersamaku, lalu ingatan papa menggandeng tanganku saat ke mall, kemudian papa yang menceritakan lelucon dan terakhir wajah papa di rumah sakit yang mengatakan semua akan baik-baik saja. Ingatan itu berputar sekilas lantas memudar. Rasanya seperti aku berada dalam cahaya dan tiba-tiba tersesat dalam lubang kegelapan bertahun-tahun. Aku mencoba mengingatnya lagi, tapi tak bisa. Aku jatuh berlutut di lantai. Samar-samar terdengar bangku bergesekan dengan lantai, lalu tangan orangtuaku berusaha membantu aku bangkit, tapi aku menolak.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang