Bab 5. Papa dan Kenyataan

173 30 11
                                    

"Wake up, sleepyhead!" Seseorang menepuk-tepuk pipiku. Sesekali menekan kuat-kuat, menyebabkan bibirku monyong. Rasa kantukku baru hilang ketika orang itu memaksa membuat kelopak mataku. Aku terbangun dengan ogah-ogahan. Dan langsung duduk tegak saat mengingat papan permainan itu.

"Tom?" pekikku.

"Sayang..."

Aku menoleh ke arah suara dan menghela napas ketika melihat wajah mamaku. Sebagian kepalanya terpantul cahaya sehingga rambutnya terlihat bersinar. Aku mengembuskan napas lega. Kemudian menyadari keganjilan.

Cahaya?

Aku tersentak sadar dan menoleh ke kanan. Kamarku ada jendelanya! Impossible. Namun rasanya seperti aku sudah lama di sini. Ah, ini kamarku yang lama. Bukan kamar yang ada di Lantern Black. Tapi, bukannya aku seharusnya ada di kota rawa itu? Tidak mungkin. Jangan bilang... Oh. No way!

"Tom di mana, Ma?" tanyaku pelan. Aku lebih takut pada pertanyaanku sendiri karena aku sudah memprediksi jawabannya.

Mama terkikik. "Siapa Tom? Kekasihmu?" tanyanya tanpa beban. "Lebih baik kau lekas mandi, hari ini ada ulangan, jangan sampai remedial."

Begitu mama keluar kamar, aku terbengong-bengong di tempat tidur. Ada jendela. Kamarku yang lama. Tidak ada Tom. Otakku mencerna fakta-fakta asing itu perlahan. Jika prediksiku benar, maka ini akan menjadi hari panjang.

Aku langsung meluncur ke kamar mandi, buru-buru menggosok gigi, buru-buru mandi, dan buru-buru memakai seragam. Aku melakukannya dengan terburu-buru karena memang hidupku dikejar waktu. Hal baik karena aku masih berusia enam belas tahun, seragam ini juga tak lebih dari ukuran tubuhku.

Perjalanan ke lantai dasar yang jaraknya tak sampai dua kilometer itu entah bagaimana membuat aku jadi serba kikuk. Tidak ada lagi suara berderit ketika menginjak tangga. Jujur saja, meski cuma tujuh hari, aku jadi terbiasa dengan rumah di Lantern Black. Karena pagi, siang, malam aku selalu bolak-balik menggunakan tangga mirip setrikan sedang dipakai. Sekarang aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Tangga. Kamar. Dan seluruh isi rumah lamaku. Menarik. Aku berbalik badan hendak mencari Tom. Ia pasti bersembunyi di kamar dan meledak tertawa bersama mama. Jenis permainan umur delapan tahun yang sering mereka lakukan.

Aku mengetuk pintu kamar Tom—yang di rumah lama—persis di samping kamarku. "Tom, berhentilah mengujiku. Ayo, turun!" kataku terkekeh geli.

Ketika Tom tidak menjawab, aku menyemburkan napas dan mendongak ke langit-langit. Jika Tom berpikir leluconnya berhasil, aku akan meledeknya habis-habisan karena tempat persembunyiannya terlalu mudah ditebak. Tetapi, jika Tom tahu dirinya mudah ditebak, kemungkinan ia akan kecewa dan dibahas berbulan-bulan. Mirip orang depresi mencari solusi. Itu berarti Tom yang akan mengusikku.

Aku membuka kamar Tom dan terhenyak. Tidak pernah ada tanda-tanda kehadiran Tom di dalam sini. Tidak ada poster tabel periodiknya. Tidak ada notes yang sering ia tempel agar mengingat pelajaran. Tidak ada rak buku yang mirip seperti di dalam toko buku. Kamar ini menjadi gudang. Kardus berdebu terletak bertumpuk. Aku tak bisa menahan ini. Dengan gerakan lincah aku langsung turun ke tangga. Tidak memikirkan keributan dari langkah kaki.

Baru saja mau berkata "Ma, di mana Tom?" namun tenggorokanku tercekat. Seseorang yang sangat familiar duduk di meja makan. Tangannya tak jadi mengambil cangkir kopi ketika melihat ke arahku. Aku menatapnya dengan mata berbinar, dan sontak terseret kembali ke masa kecil. Ke masa yang selalu kuharapkan. Masa di dalam album foto saat umur sepuluh tahun kini bisa kulihat lewat mata kepala di masa sekarang. Udara, tanah, rerumputan... segala sesuatu yang pernah tercabik kini kembali bersatu menjadi satu hal sederhana. Melihatnya membuat dunia sekelilingku menjadi warna-warni, Papa.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang