Bab 15. Persekusi

65 11 4
                                    

"Tom?" tanyaku dengan ledakan khawatir.

"Nikki... pst... di sini. Lihat ke bawah."

Aku menoleh ke arah bawah. Tom sedang merangkak bersembunyi di salah satu belakang rumah. Sebagian dindingnya runtuh dan lapisan cat mengelupas. Semak dan bau dedaunan kering. Jeriken tidak berisi. Tubuhnya jangkung tertekuk di antara kekacauan tersebut. Bayang-bayang pohon membuatnya tidak terlihat. Sebelum aku sempat merespons. Seruan peringatan terdengar. Mereka lagi. Dengan gerakan tangan, aku menyuruhnya bertiarap saja dan akan menjemputnya nanti.

"Aku akan segera kembali," bisikku.

Dari sudut mata, aku melihat dua orang itu melangkah cepat ke arahku. Mau tak mau, aku merealisasikan rencanaku tadi. Memanjat teralis. Cukup mudah. Tidak sia-sia masuk eskul silat di sekolah. Aku memanjat teralis kedua. Mudah. Tapi, tanganku terasa sakit. Mengibas-ngibaskan tangan dan mengamati sekeliling. Aku mencoba mencari pijakan untuk naik ke atap pertama yang rendah. Tidak ada apa pun.

Aku melompat, menggenggam erat satu-satunya teralis yang ternyata sudah berkarat. Berjalan dengan tangan mencengkram dan meniti teralis perlahan-lahan. Kaki-kaki mengantung di udara. Otot di sekitar ketiakku menegang seketika. Hampir mencapai atap, teralis ambruk. Tidak kuat menahan tubuhku. Sesuai perkiraan, badanku mengantam teralis tangga.

"Ouch..." Aku mengaduh. Tetap tidak melepaskan pegangan. Memanjat dengan susah payah. Kakiku menggeliat-geliut mencari pijakan. Ketika berhasil, aku memanjat teralis selanjutnya. Besi-besi yang aku genggam mengeluarkan bau darah dan amis.

Sampai di puncak, aku meniti atap datar. Mereka betul-betul mengincarku. Sial. Sial. Melompat ke arah atap miring, tubuhku langsung meluncur. Berhenti ketika aku berguling ke arah atap datar lainnya. Di depan, atap menggunakan seng lapuk. Aku tidak yakin akan melewatinya dan benda itu akan kuat menahan tubuhku.

Jadi, aku memilih jalur lain. Melompat ke atap di sebelah kanan. Meniti hati-hati. Turun dengan menggunakan teralis. Kembali membaur dengan pengunjung karnaval. Membuat dua orang tadi bergerak sejauh-jauhnya dari Tom.

Ide yang tidak sia-sia. Kini mereka terlihat sibuk mencariku. Kesempatan untuk aku mengatur pernapasan.

"Nikki, kenapa kau di sini?"

Aku menoleh terkejut. Mama sedang menatapku heran. Ia mengandeng salah satu anak yang kulihat saat sarapan tadi pagi. Perempuan dengan rambut hitam kecoklatan. Wajahnya bundar dan senyumnya menggemaskan. Matanya berkilat bahagia saat melihatku seakan kami jenis saudari yang akur sekali.

"Bukannya kau sedang trapeze?" lanjut Mama. Sebelum aku menjawab, Mama mengajukan pertanyaan lain, "kau melihat Tom? Aku mencari-carinya sejak tadi."

Mama celingak-celinguk. Mengumamkan 'memberikan hukuman' dan 'di mana anak itu'. Aku menggaruk kepala.

"Mama kenapa tidak ke dalam saja? Lebih aman."

Mama menggeleng kuat. "Acara yang ini sekali setahun. Lihat! Semua atraksi sedang menggelar parade. Ada pertunjukkan marching band di pintu barat. Ada permainan sulap kartu di pintu selatan. Ada sirkus lumba-lumba. Dan yang paling Mama tunggu, pertunjukkan menyelamatkan diri dari tangki air. Selalu hebat. Bagaimana orang menyelamatkan diri dengan gembok mengikat kakinya? Telat satu detik saja, orang itu akan di makan sekumpulan ikan arwana. Lihat ke atas, ikan arwana siap dilepas."

Aku mendengar penjelasan mama dengan ogah-ogahan. "Baiklah. Baiklah—" Tepat saat itu terdengar seruan gusar setelah lima menit lalu aku bebas. Bahaya. Benar-benar pemburuan yang sewenang-wenang. "Aku pergi dulu!"

Tapi, saat bersiap lari. Aku tersandung seorang anak kecil yang sedang berjongkok mengambil koin di dekat kaki. Bagian belakang kepalaku menghantam aspal. Lalu aku langsung berdiri, seolah lupa kalau sedang menahan kesakitan, dan meninggalkan keramian karnaval.

Tom sedang menunggu di atap. Pemikiran itu yang membuatku langsung bangkit. Apa jadinya jika aku tak kembali? Tom akan kelabakan mencari. Atau tindakan lainnya, tetap menunggu untuk masa tunggu yang lamaa sekali meski aku tidak akan pernah datang. Aku berlari lebih cepat. Tak tentu arah. Hanya mengikuti firasat. Namun, begitu melihat balok kayu, aku bersembunyi di sana. Duduk. Mendiagnosis sendiri bahwa aku akan mengalami amnesia sebagian.

Namun samar-samar aku masih ingat kehidupanku. Bahwa aku sedang dikejar orang-orang yang menyebut dirinya Polisi Waktu. Tom sedang menunggu. Dan sebagian ingatanku memang sudah lenyap gara-gara efek reverse round. Aku memang harus segera memulai permainan lagi. Meski tidak tahu akan berada di zaman apa, yang terpenting aku tidak akan kehilangan banyak ingatan.

Aku mencoba berdiri, namun kaki gemetaran. Jatuh terduduk. Dan benda disekelilingku terlihat agak berputar-putar. Berbayang. Aku masih meringkuk, mencoba tetap sadar. Lantas terbesit dibenakku sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang memang harusnya ditanyakan saat sedang mencoba kabur dari masalah, sampai berapa lama aku akan terus berlari?

Jawaban itu tak kutemukan. Mataku meredup. Sebelum jatuh pingsan, aku memaksakan diri berlari. Lagi-lagi seruan kasar itu terdengar. Ditambah makian.

"Kau tidak akan bisa lolos dari kami!"

"Lebih baik kau menyerah."

Aku tidak mempedulikan teriakan tersebut. Dan masalah lainnya datang. Aku tidak tahu di arah mana Tom bersembunyi. Lupa lewat jalan apa. Lupa di atap mana ia menunggu. Sekali lagi mengandalkan firasat, aku berlari membelah kerumunan orang. Semua sedang sibuk senang-senang. Tidak akan ada yang tahu bahwa seorang perempuan berusia enam belas tahun sedang lari dikejar-kejar oleh Polisi Waktu. Dan diantara pening yang semakin pekat, aku baru sadar bahwa tidak akan ada yang percaya bahwa ada jenis polisi bernama Polisi Waktu. Bahkan terdengar sinting untuk diucapkan.

Tenda-tenda merah terlihat. Aku ingat pernah melewati tenda itu jadi segera berlari ke sana. Mereka masih mengikuti. Sayangnya ada pagar besi di depannya. Tidak ada lagi tempat untuk berlari. Sadar oleh ketakutan tersebut, aku memilih memasuki tenda. Ternyata tenda bagian belakang. Beberapa orang sedang dimake up, mencoba pakaian dan lainnya menata rambut.

Aku menerobos. Mereka memekik. Seruan orang tadi masih mengejar. Kepalaku terasa pengar dan mual. Ingin muntah tapi perutku bahkan tidak ada isinya. Asupan makanan saat sarapan udah terolah menjadi energi untuk berlari.

Bangku-bangku bertingkat ramai penonton. Satu-satunya tempat aku bersembunyi. Kali ini aku tidak berlari. Mencoba membaur dengan orang-orang dan duduk disembarang tempat. Menunduk dalam-dalam.

"Hai, kita bertemu lagi!" Seru seseorang.

Aku mendongak. Menempelkan jari ke bibir.

Tapi, Evo tidak mengerti isyarat. Malah menarik tanganku hingga bersandar di bangku. Seruan marah terdengar lagi. Gawat.

Aku terhuyung-huyung bangkit. Mengumamkan kata permisi berkali-kali saat melintas bangku penonton. Berlari di atas semen halus menuju belakang tenda. Namun justru sampai di depan tenda.

Tertulis: Tutup sampai pertunjukkan selesai.

Aku menoleh ke belakang saat lelaki pertama nyaris menjangkau jarak lariku. Ada noda merah diwajahnya. Kuharapkan bukan noda darah Tom.

Suara bergemuruh penonton terdengar memenuhi rongga telingaku. Ditambah dengung. Rasanya melelahkan berlari terus. Aku melontarkan diriku ke lapangan. Suara heran dan kesal bersahutan. Masa bodo.

Kepanikan membajiri seluruh kerja tubuhku. Berusaha membungkus benakku di dalam gagasan bahwa aku benar-benar dalam bahaya.

Aksi lari ini benar-benar menguras tenaga, keringat membanjiri kening dan seluruh kulit. Angin menerpa punggung. Dan dahagaku tak tertahanku.

Aku memotivasi diri untuk minum jika berhasil lolos dari mereka. Memutar lapangan. Kakiku tersaruk-saruk kelelahan. Dan saat berhenti untuk bernapas, tak bisa disangkal kalau aku kembali ke papan loncat trapeze.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang