Bab 20. Reminisensi

67 10 0
                                    

Awal aku mengenal Tom, ia hanya lelaki kurus yang membawa buku. Ia selalu mendorong kacamata ke pangkal hidung dengan jari telunjuk. Kadang Tom biarkan merosot saat asik membaca. Ia membaca beragam buku. Imajinasinya lebih liar dari anak seusianya, kata mama.

Tom lebih pandai dariku dalam banyak hal. Ia bisa menyebutkan tabel periodik bersama nomor massa dan nomor atom tanpa terbalik. Tapi Tom selalu bersikeras bahwa tabel periodik harus ditempel di dekat meja belajar agar tidak lupa begitu saja.

Aku masih mengingat hari di mana aku menjabat tangannya. Genggamannya payah dan lesu. Ia tidak suka bertualang. Tom selalu bilang bahwa seseorang bisa bertualang hanya dengan membaca buku. Menjelajah beragam dunia.

Tapi aku selalu menyanggah bahwa seseorang harus menikmati dunia langsung. Menginjakkan kaki di sana dan menciptakan semacam memori. Sesuatu yang tidak bisa didapat hanya dengan membaca. Kenangan yang tidak bisa dinikmati hanya dengan membaca imajinasi penulis yang membangun jembatan untuk pembaca. Kami berdebat cukup lama hanya untuk bertualang hingga rencana itu gagal.

Aku tidak marah, tapi tidak habis pikir bagaimana bisa saudara mengalah pada saudara lainnya dengan mudah.

Kini aku mempertanyakan memori itu. Kenangan yang belum terhapus. Atau mungkin akan terhapus. Semacam kenangan figuran yang pada akhirnya susah diingat, mitos, seperti keberadaan peri gigi. Aku hanya menatap Tom setelah ia menjelaskan segalanya.

Siapa pun yang mendengar penjelasannya secara langsung dan berada di posisiku pasti cukup cerdas untuk diam. Serangkaian tindakan linglung yang tidak tahu harus bagaimana lagi meresponsnya selain mulut terkatup rapat.

Kejadian ini mungkin tidak sama menyedihkannya saat melihat ayahku meninggal karena sakit. Di mana mama dan papa yang biasa bertengkar hanya masalah sepele. Lalu menjelang ajal, mereka saling meminta maaf karena tidak pernah ada untuk satu sama lain. Aku pikir saat itu sudah terlambat. Harusnya papa dan mama tidak perlu bercerai jauh-jauh hari agar saat yang lainnya pergi, yang lainnya tidak perlu merasa merana.

Tapi jika diingat lagi, sejak papa meninggal, mama sering keluar rumah. Seakan menghindar dariku. Kenyataan itu baru ia katakan sebulan sebelum ia menikah lagi. Aku memiliki banyak gen dari papa, kata mama. Hingga ia tidak mampu menatapku lama. Sekarang, aku juga takut menatap diriku sendiri.

Kami hanya diam dalam penjara masing-masing. Tidak ada yang mencoba mengajak mengobrol lebih dulu. Mungkin karena diam ini sudah menjadi jawaban atas badai yang Tom ciptakan. Ia berpikir pendek. Hal yang harusnya sudah aku ketahui saat meninggalkannya sendirian.

Kini sudah lengkap tembok kehancuran yang kami bangun. Aku dengan Lantern Saga. Tom dengan deviasi waktu.

Aku tidak tahu sekarang jam berapa. Tidak ada apa pun yang bisa menunjukkan waktu atau arah cahaya matahari. Seharusnya aku tak perlu terkejut jika hal seperti ini terjadi. Tapi aku tetap terkejut dan sebagian diriku ingin sekali tidur selama-lamanya agar tidak terhenyak dengan informasi Tom yang lain.

"Apa lagi yang perlu kutahu?"

"Tidak ada. Tapi Nikki, aku akan—"

Aku tertawa miris dengan kepala mendongak. "Jadi selama aku kehilangan sebagian ingatanku. Kau justru mendapat ingatan-ingatan baru?"

"Aku tidak berpikir sampai situ," kilah Tom.

"Tapi kau melakukannya!"

Kami terdiam. Hingga rasanya aku menjadi sosok orang paling menyebalkan. "Bagaimana rupanya? Siapa namanya?"

"Lady. Berbeda satu tahun dariku," jawab Tom, "maaf. Aku harusnya memberitahumu."

"Ya," kataku yang nyaris tidak kuat menahan nada kecewa, "semoga saat kita kembali, ia tidak ada di zaman kita."

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang