Bab 3. Babak

257 41 15
                                    

"ARGGGHH!" jeritku putus asa. Belum juga berbalik hendak mencari saudaraku keliling rumah. Terdengar suara menyahut.

"Ada apa sih Nikki?"

Tom muncul dari lemari kayu yang hampir menyentuh langit-langit kamarnya. Ia memakai kaos oblong, topi dan celana piama.

"Ehmm.... tidak ada apa-apa," jawabku terbata-bata. Degup jantungku masih kencang.

"Kalau begitu mengapa menjerit?" tanya Tom heran. "Dan kenapa tampangmu begitu aneh?"

"Aku? Aneh? Kau yang kelihatan aneh," balasku ketus. Aku menunjuk celana piamanya. "Mana celanamu?"

"Entahlah." Ia menggeleng kepala frustrasi.

Akhirnya aku menyuruhnya memakai celana pendek apa saja dibanding gaya berpakaiannya hancur begitu. Awalnya Tom protes dengan dalih berdasarkan buku yang dibaca jika pada hari Selasa, jangan memakai celana pendek atau hantu akan menarik kaki-kakimu. Aku sama sekali tidak melihat kolerasi antara hari, kaki dan buku yang dibacanya jadi tak kupedulikan ucapannya. Ia selalu percaya apa yang dibacanya. Itu tak bisa dijadikan refrensi kebenaran mutlak.

Seperti kemarin malam, pagi ini pun aku memasak omelet lagi. Tom protes lagi. Aku memprediksi kehidupanku akan menoton selama dua belas hari kedepan dan memakan telur dadar tiap harinya. Namun, pikiranku itu langsung dipatahkan ketika Tom menolak makan omelet dan ingin bermain.

"Kalau begitu gimana kalau kita keliling?" tawarku. Aku jamin Tom tidak akan menolak sebab sejak menginjakkan kaki di rumah ini, kami belum sempat berkeliling mengecek. Aku dan Tom gemar berputar di dalam rumah karena itu menyenangkan. Papa bilang energi kami menjadi kebanyakan karena beranjak remaja. Mama tidak keberatan asal tidak memecahkan barang.

Di luar dugaan. "Aku tidak mau jalan ke luar. Ke rawa itu." Tom menolak.

"Takut apa sih? Dari buku bacaanmu itu?" aku tertawa mengejek.

"Lucu sekali," omel Tom sambil cemberut.

Aku mencubit pipinya yang tak gempal. Gemas karena ia terlalu penakut dan sekaligus salah paham. "Maksudku, kita keliling rumah ini. Kita belum pernah ke loteng. Kata Mama, kita punya loteng," kataku diplomatis.

"Selalu ada hal berbahaya di rumah baru," jawab Tom cepat.

Nah apa kubilang, ia selalu percaya dengan apa yang dibacanya.

"Kalau begitu, kita ke loteng," kataku persuasif.

"Eh?"

***

Tidak banyak berbeda dari loteng rumahku. Ruangan ini cukup panjang, tapi sempit. Lantainya dihiasi roman parquet, ditata berjajar, dan diapit dinding berlapis kertas hijau pudar. Loteng ini lebih bagus dari kamarku. Ada beberapa lemari kayu kecoklatan berdebu di sebelah kanan. Satu lampu menggantung di langit. Kardus-kardus tertutup lakban hitam dan coklat. Semuanya tampak kotor. Oh hei, di dekat jendela ada cermin besar. Setinggi badanku. Keren. Aku akan membawanya turun nanti. Di mana Tom? Aku berbalik badan dan melihatnya mencoba membuka kardus dan membaca komik usang yang sudah robek di ujungnya. Lebih mirip gigitan tikus. Aku berbalik badan lagi dan memandangi badanku di cermin. Memutar-mutar. Aku mengidik ngeri ketika melihat ada cowok di belakang Tom. Siapa ia?

Tidak... tidak...

Aku menoleh ke belakang dan hanya melihat Tom yang sibuk mengusap kacamatanya. Ia mulai keringatan di tempat pengap. Aku menoleh kembali ke cermin, dan cowok itu tak ada. Aku mengusap mataku. Tidak ada pantulan cowok tadi. Kok tolol sekali ya.

Aku mengelilingi loteng. Kali saja ada lagi yang bisa di ambil. Seketika aku baru sadar, banyak potongan koran yang ditempel di dinding. Kuhapus debu itu membacanya secara teliti.

Nikki and The Journey in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang