Malam dingin.
Ditempat lain, Bima memperhatikan cincin logam berwarna hitam pekat itu. Masih terlukis jelas bekas luka disana.
Darah.
Bima menenggelamkan kepalanya. Pikirannya sangat rumit saat ini. Rasa bersalah itu selalu menghantuinya bahkan rasa benci masih tertinggal dibenaknya.
Kehilangan seorang kakak dan berpisah dengan Ibu kandungnya. Luka itu masih membekas dihati Bima.
Tidak ada kasih sayang kedua orang tua yang ia dapatkan dimasa kecilnya. Tidak ada perhatian disaat ia terluka.
Itulah mengapa sikap Bima menjadi dingin.
Tiba-tiba saja ia menangis. Kejadian yang tidak disengaja itu membuatnya semakin ada rasa bersalah. Entah dengan apa ia harus mempertanggung jawabkannya.
Ia ingin sekali mengatakannya dengan jujur meski menyakitkan.
"Bim, mama nyuruh lo makan. Daripagi lo belom makan kan?"ajak saudara tirinya.
Bima menghiraukannya, ia hanya memainkan bola yang ada dihadapannya. Terlihat saudara tirinya itu tidak putus asa.
"Kalo lo benci dengan kehadiran mama gue dan gue disini. Gue minta maaf. Tapi lo jangan kayak gini. Setiap hari lo jarang senyum. Tiap hari lo selalu aja nolak kalo diajak makan bersama. Mau lo apa sih, Bim?"sahut saudara tirinya.
"Keluar lo sekarang! Sekarang lo keluar dari kamar gue, Digta"bentak Bima dengan kesal.
"Satu lagi Bim. Sikap lo itu bisa aja menghilangkan semuanya. Gue harap lo perbaiki sikap lo."kata Digta yang meninggalkan Bima begitu saja.
Digta berjalan menuju meja makan. Tidak ada yang berubah sejak dulu. Selama lima tahun sudah ia tidak mau merubah sikapnya.
'Gimana? Masih gamau keluar kamar juga?"tanya seorang wanita paruhbaya itu. Dia adalah mama tiri bima.
"Yaudahlah,ma biarin aja. Nanti dia kalo laper juga makan sendiri. Mama gak capek aja ngehadepin sikapnya Bima?"balas Digta yang sangat tidak suka.
Hampir lima tahun ini ia sudah cukup mengalah dengan sikap saudara tirinya itu. Ia mengalah dan mencoba mengerti sikap saudara nya.
Bima keluar dari kamarnya dengan membawa helm lengkap dengan jaket hitamnya. Sudah akhir-akhir ini Bima selalu saja keluar malam hari.
Balapan liar.
Entah mengapa aktivitas ini bisa menghilangkan rasa kejenuhan bagi Bima. Bima menggas motornya sekencang-kencangnya.Ia mengitari jalanan yang sudah mulai sepi ini. Ia seakan meluapkan rasa kekesalannya. Perlahan ia melajukan motornya dengan cepat.
Teringat kejadian yang lalu...
"Kakak? Kak, Bima mau bertemu dengan mama."kata Bima dengan menangis
"Kakak dan mama harus pergi. Kamu sama papa aja ya. Kakak akan baik-baik saja."kata kakak kandung Bima dengan sedih.
"Bima mau ikutt. Kakak pergi kemana? Kak, bima gamau sama papa. Bima mau sama mama"
"Kalo kaka bilang gabisa ya gabisa. Kakak harus pergi!" Bentak sang kakak.
Perlahan air mata Bima menetes. Ia sangat membenci kakak dan mamanya. Seakan Bima tidak diperdulikan lagi.
Hingga kejadian itu, tanpa sengaja bima menorehkan luka dan penyesalan didalam hatinya.
"Awww!"pekik seseorang yang tanpa sengaja hampir saja ditabrak oleh Bima
Clarissa.
"Bima, aww! Sakit tau. Kamu tuh apa-apaan sih. Ugal-ugalan dijalan. "Kata clarissa dengan berusaha berdiri."Maaf cla, gue galiat. Sorry gue tadi ngelamun."
"Lain kali hati-hati. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa. Lagian kalo saran aku jangan kebut-kebutan kayak gitu. Aku gamau kamu sama seperti kakaku"jelas Clarissa panjang lebar.
Bima terdiam sesaat. Ia menghela nafas sejenak seakan menyimpan sesuatu.
"Maafin gue,cla. Yaudah sekarang gue obatin luka lo ya. Sekalian gue anter lo pulang"
***
Bima membersihkan luka clarissa dengan telaten. Clarissa menatap mata Bima dengan senyuman. Tidak biasanya ia seperti ini.
"Aww! Kak randy sakit"ucap Clarissa yang secara tiba-tiba
"Kak Randy?"tanya bima dengan heran.
"Eh---maaf aku kepikiran kakak ku. Bim udah malem kayaknya aku harus pulang deh"kata Clarissa dengan kikuk.
Bima memikirkan kata-kata Clarisaa barusan. Apakah ia adalah wanita yang selama ini ia cari?
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANTI SENJA [selesai]
Ficção AdolescenteMungkin aku ini hanya seperti balon-balon yang melayang diudara. Selalu kau lihat namun aku terasa jauh darimu