1. The Classroom; Gaze

37.5K 1.7K 180
                                    

     Matahari baru saja muncul menghangatkan bumi dari putaran kegelapan. Disertai pula dengan tetesan embun pada permukaan aspal jalanan yang sisa-sisanya masih mengendap. Sebagiannya sudah menguap, pergi bersama hadirnya pagi.

     Ada satu pemburu waktu di antara jutaan pengemudi kendaraan beroda dua. Ikut menggilas ruas jalanan ibu kota, memangkas jarak dengan kecepatan sedang.

     Namanya Adelina Measy. Gadis berperawakan mungil dan baru memasuki usia dua puluh dua tahun.

     Dua minggu yang lalu, dia berhasil lolos pada tahap wawancara di sebuah yayasan pendidikan, lantas resmi diterima sebagai tenaga pengajar mata pelajaran Biologi di Sekolah Menengah Atas yayasan pendidikan tersebut. Dan, ya! Itu memang harapan terbesarnya. Namun jantungnnya tak bisa berbohong kala motor scoopy tunggangannya mulai memasuki gerbang sekolah. Senang, lega, gugup. Banyak sekali emosi menyambut kedatangan gadis itu hingga ia berhenti pada parkiran khusus roda dua milik guru.

Ibu, aku udah sampe
di sekolah nih.
Doain hari pertama
ngajarnya lancar ya!

     Sisi mengirim pesan instan untuk ibunya, lantas memasukkan kembali gawai ke dalam tas jinjing abu-abunya. Biarlah pesan balasan dari sang ibu dicek lain waktu.

     "Ha-ha-ha-ha-ha! Sa ae lu, Tongkol!"

     Sisi refleks mundur satu langkah begitu pintu lift di depannya sudah terbuka dan langsung menampakkan dua orang siswa tengah melangkah keluar dengan adegan toyor-menoyor. Satu orang yang memiliki fisik khas suku bagian timur Indonesia hanya mengumpat kecil, sementara satunya lagi sedang tertawa kesenangan. Namun begitu mendapati sosok Sisi yang menatap lurus mereka, keduanya terdiam dan melirik heran, cukup lama hingga akhirnya saling memunggungi karena Sisi segera bergantian masuk untuk naik ke lantai atas di mana kantor guru berada.

     Kirain di sekolah elit begini nggak bakal ada siswa modelan begitu, nyinyir gadis itu dalam hati. Ditatapnya lagi siluet dua sosok remaja lelaki yang sudah melangkah jauh menyeberangi lobi gedung sekolah.

     "Kalian kelas berapa?" tanya Sisi kemudian kepada beberapa siswi yang ikut di lift bersamanya.

     "Kita kelas sebelas."

     "Oo," Sisi membulatkan mulutnya. Ini bukan calon muridnya, berarti. Di surat kontrak yang ditandatanginya lalu, dia hanya ditugaskan mengajar di empat ruang kelas di kelas duabelas.

     Keluar dari lift, Sisi menuju ruang guru dan langsung menyapa beberapa tenaga pengajar yang kemarin-kemarin sudah berkenalan dengannya. Setelahnya, wanita itu menemui wakil kepala sekolah bagian kurikulum guna memberitahu kehadirannya.

     Sekali lagi dia diberikan arahan oleh perempuan berumur empat puluh tahunan itu. Kali ini tidak selama pertama kalinya menerima sosialisasi sistem pengajaran serta penandatanganan kontrak. Hanya ucapan selamat mengajar dan nasehat-nasehat kecil dari sang pimpinan.

🍂

     "Duabelas IPA dua," Sisi menggumam sembari mengetuk-ngetuk kecil lembaran fisik absensi ruang kelas yang akan diajarnya untuk pertama kali. Langkahan sepasang kaki mungil di atas wedges mengetuk-ngetuk koridor berwarna krem hingga mendekati ambang pintu yang masih terbuka. Belum juga berhasil mengenyahkan rasa gugupnya, riuh dari dalam kelas sudah menyambut.

     "Selamat pagi!" sapanya nyaring. Ya, cukup keras hingga penghuni kelas teralih ke depan, tepat ke sosok mungil yang baru saja memasuki ruangan dengan sapaan lantang.

     "Pagi, Buuu!"

     "Loh?!"

     "Wadidaaaw!"

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang