Suasana hening menemani tatapan prihatin Brama terhadap kondisi mengenaskan yang dialami Digo. Remaja lelaki itu duduk diam di atas sofa sembari bersedekap, menatap nanar sosok sang sahabat yang tengah menyeka luka kebiruan di wajahnya dengan air bersih.
"Gini nih yang bikin kita males ngelepasin lo sendiri," desah Brama kemudian sambil menegakkan badan, resah. "Masih untung, Dig, lo nggak dibunuh sama preman-preman kampung itu."
Hening. Digo menggeser jauh mangkuk kaca yang menjadi wadah tampungan air penyeka lukanya. "Ada ato pun nggak ada lo pada juga bakal kayak gini," dengkusnya. "Lo kira mereka sedikit? Ya kalo orangnya dikit juga gue bisa ngelawan, lah."
"Tapi paling nggak keadaan lo nggak separah ini, Njing. Ini aja untung-untungan lo nggak mampus di jalan," omel Brama.
"Gue nggak pernah bisa terima gue diginiin. Awas aja tuh Pengecut kalo ketemu gue. Nggak bakal gue kasih nyawa."
Hening.
"Selalu ada kita di belakang lo," tanggap Brama sembari bangkit. Remaja itu melangkah ke dapur untuk mengambil sekaleng bir dari dalam kulkas.
Sepeninggalnya, Digo memilih mengistirahatkan diri di atas sofa dengan posisi telungkup, kepalanya ditutupi satu bantalan sofa.
Malam ini ... rasanya seperti mimpi. Dikejar dan dihadang puluhan preman, kemudian dikeroyok di pinggir jalan hingga membuat Digo nyaris saja mati. Dia terbangun dalam kesakitan, lalu menyadari seseorang telah hadir dengan tangis panik. Derai air matanya menyatu dan luruh bersama butiran hujan.
Tidak. Digo hanyalah seorang bocah biasa bagi wanita tersebut, layaknya murid-murid lain. Kepedulian, pengorbanan bahkan air mata Sisi tidak istimewa, begitu ungkap yang pernah diperdengarkannya bagi Digo.
Lantas terjadi pula kontak fisik cukup intim yang tidak direncanakan. Digo telah menciumi wanita tersebut. Itu berlangsung cukup lama dan mereka menyatu dalam buai semesta yang menyajikan malam disertai hujan besar.
Jantung Digo mencelus hangat. Di waktu yang sama pula dia telah mengungkapkan perasaannya kepada Sisi. Kepada wanita yang diam-diam telah mencuri hatinya, menghancurkan prinsipnya, meruntuhkan sebuah stigma yang selama ini telah tertanam kuat dalam dirinya. Bahwasanya wanita adalah makluk yang paling tidak berguna, yang dilahirkan hanya untuk menambah beban bumi.
Dulu, saat belum mengerti konsep terjadinya manusia, Digo bahkan tidak terima bila dia hidup di dunia ini harus berbagi oksigen dengan para wanita. Mereka jahat! Mereka adalah makhluk yang sangat menyeramkan melebihi monster atau malaikat pencabut nyawa. Dulu, Digo menganggap wanita adalah produk gagal dari Tuhan yang sengaja diturunkan untuk meracuni bumi.
Dulu....
Bugh!
Lamunan Digo terusik. Brama mengempaskan badan ke permukaan sofa, tepat di seberang dirinya yang masih berbaring tengkurap dengan kepala ditutupi bantalan sofa.
"Dig," Brama memanggil. Dia sudah lama kembali dan bersandar pada sofa dengan satu tangan menopang kepala, satu tangan lain memegang kaleng bir. Sesekali dia menenggak isinya seraya menatap lurus sosok sang sahabat.
"Dig," panggil Brama lagi.
Hening. Digo masih bergeming pada posisi sama, alih-alih menjawab.
"Dig!"
Masih hening.
"Dig! Woi!" lagi, Brama memanggil dengan cukup keras. Dia akhirnya menegakkan badan seraya meletakkan kaleng bir ke atas meja. "DICK!"

KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHED
Fanfiction"Sometimes we have to get through the dark to appreciate the beautiful light."