17. Denial

9.3K 1.1K 211
                                    

     Hosea Bennicio Hwan. Panggilan sebenarnya Hosea. Tetapi, teman-temannya lebih suka memanggil murid lelaki itu Benni saja karena perangainya justru jauh dari sifat nabi di kitab suci. Dia ditarik kembali oleh orangtuanya ke Indonesia setelah gagal menjalani studi di Perth, Australia. Lalu, terdampar di SMA milik keluarga Dimas. Dengan kata lain Benni adalah salah satu siswa titipan selayaknya Digo.

     "Huuufh...." Sisi menatap monoton jendela pencarian internet di layar laptopnya. Layar gawai tersebut masih menyajikan silsilah keluarga sang murid yang tadi bersitegang dengannya di tangga darurat. Dia kemudian berdecak dan kembali membuang napas pasrah. Digo benar. Ternyata pemilik nama di atas adanya memang cucu kandung dari salah satu jajaran orang terkaya di Asia.

     Tiba-tiba saja Sisi teringat kecamannya pagi tadi.

     "Kalian semua berstatus sosial tinggi dengan moral rendahan."

     Sisi kontan ngeri sendiri. Memang, dia tidak pernah takut terhadap siapa pun. Itu benar. Tetapi sekarang mengapa kalimat tersebut justru berbalik menyerangnya? Gadis itu menjadi tidak tenang. Sebab, bukan kepuasan batin yang dirasakan setelah melepaskan kalimat kecaman, melainkan ada bayangan seraut wajah tidak biasa yang terus mengusik pikirannya. Apakah Sisi sudah berlebihan? Dia bisa melihat jelas bagaimana raut lelah dan frustrasi Digo saat menatapnya, menerima segala pelampiasan kemurkaannya pagi tadi. Tragisnya, hal itu bahkan dilakukan Sisi tepat sehari setelah dirinya diperbantukan pulang secara diam-diam oleh murid tersebut.

     Sisi mendesah berat sembari menutup laptop. Ditatapnya seisi ruangan guru dan hanya menemukan beberapa orang pegawai yang masih tertinggal. Sebelum jam istirahat benar-benar berlalu, gadis itu pergi dari sana dan mencari tempat yang tenang untuk menetralisirkan suasana hatinya.

🍂

    Brama memutar kedua bola matanya ke arah depan setelah melirik kedatangan Digo dari luar gedung futsal, melangkah menuju bangku pemain yang menjadi tempat duduknya sekarang. Saat sahabatnya itu sudah mengempaskan badan di sampingnya, dia masih setia dalam geming.

     Hening. Brama bersedekap, Digo sendiri tengah membuka segel tutup botol air mineral, lantas menenggaknya beberapa kali tegukan.

     "Lo hajar?" Brama akhirnya membuka mulut, walaupun dengan pertanyaan bernada dingin.

     Digo melirik cowok itu sekilas. "Nggaklah," dia mengembalikan pandangannya dan lurus ke arah lapangan, "sejak kapan gue main fisik ama cewek?"

     "Ya tapi mulutnya itu lebih pedes dari seblak mercon, Dig! Lo nggak tahu seberapa traumanya cewek gue?" Brama mengeluarkan ekspresi meradang dan langsung berdiri tegak di hadapan Digo. "Dia pucet, dan langsung minta izin pulang!"

    Digo mendengak dan menatap wajah murid lelaki itu dalam waktu cukup lama. "Lucu juga, ya, cewek lo. Berani berbuat doang, tapi nggak siap sama risikonya. Siapa suruh lo berdua mesra-mesraan di sekolah?" sindirnya, telak.

     Brama refleks bertambah meradang. "Jadi lo belain Bu Sisi, nih?!" telunjuknya menuding tajam wajah Digo.

     "Gua nggak belain siapa-siapa."

    "Itu barusan lo nyalahin gue!"

     "Ya, gue nyalahin lo berdua doang," kilah Digo. "Emang ada gue barusan ngucapin kalimat pembelaan?"

     Brama kembali duduk sambil mendengkus. "Lo nyalahin gue, ya Bu Sisi auto benerlah. Kayak gue nggak bisa nebak isi kepala lo aja," dia terkekeh sarkastis, "lo, kan, suka die."

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang